BIOGRAFI ULAMA KHARISMATIK DI INDONESIA
قال
رسول الله صلى الله عليه وسلم مَنْ وَرَّخَ مُسْلِمًا فَكَأَ نَّمَا
اَحْيَاهُ وَمَنْ زَارَ عَالِمًا فَكَأَ نَّمَا زَارَنِى وَمَنْ زَارَنِى بَعْدَ
وَفَاتِى وَجَبَتْ لَهُ شَفَاعَتِى. روه ابو داود وترمذى
“Barang siapa
membuat tarekh (Biografi) seorang muslim, maka sama dengan menghidupkannya. Dan
barang siapa ziarah kepada seorang Alim, maka sama dengan ziarah kepadaku (Nabi
SAW). Dan barang siapa berziarah kepadaku setelah aku wafat, maka wajib baginya
mendapat syafatku di Hari Qiyamat. (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).
KH.Kholil Bangkalan
KH. Muhammad Kholil dilahirkan pada 11 Jamadilakhir 1235 Hijrah atau 27 Januari 1820 Masehi di Kampung Senenan, Desa Kemayoran, Kecamatan Bangkalan, Kabupaten Bangkalan, Pulau Madura, Jawa Timur. Beliau berasal dari keluarga Ulama dan digembleng langasung oleh ayah Beliau menginjak dewasa beliau ta’lim diberbagai pondok pesantren. Sekitar 1850-an, ketika usianya menjelang tiga puluh, Kiyai Muhammad Khalil belajar kepada Kiyai Muhammad Nur di Pondok-pesantren Langitan, Tuban, Jawa Timur. Dari Langitan beliau pindah ke Pondok-pesantren Cangaan, Bangil, Pasuruan. Kemudian beliau pindah ke Pondok-pesantren Keboncandi. Selama belajar di pondok-pesantren ini beliau belajar pula kepada Kiyai Nur Hasan yang menetap di Sidogiri, 7 kilometer dari Keboncandi. Kyai Nur Hasan ini, sesungguhnya, masih mempunyai pertalian keluarga dengannya. Sewaktu menjadi Santri KH Muhammad Kholil telah menghafal beberapa matan, seperti Matan Alfiyah Ibnu Malik (Tata Bahasa Arab). disamping itu juga beliau juga seorang hafiz al-Quran . Belia mampu membaca alqur’an dalam Qira’at Sab’ah (tujuh cara membaca al-Quran).
Pada 1276 Hijrah/1859 Masehi, KH.Muhammad Khalil Belajar di Mekah. Di Mekah KH Muhammad Khalil al-Maduri belajar dengan Syeikh Nawawi al-Bantani(Guru Ulama Indonesia dari Banten). Di antara gurunya di Mekkah ialah Syeikh Utsman bin Hasan ad-Dimyathi, Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, Syeikh Mustafa bin Muhammad al-Afifi al-Makki, Syeikh Abdul Hamid bin Mahmud asy-Syarwani. Beberapa sanad hadis yang musalsal diterima dari Syeikh Nawawi al-Bantani dan Abdul Ghani bin Subuh bin Ismail al-Bimawi (Bima, Sumbawa). Kh.Muhammad Kholil Sewaktu Belajar di Mekkah Seangkatan dengan KH.Hasyim Asy’ari, KH.Wahab Hasbullah dan KH.Muhammad Dahlan namum Ulama-ulama Dahulu punya kebiasaan Memanggil Guru sesama Rekannya, Dan Kh.Muhammad Kholil yang Dituakan dan dimuliakan diantara mereka.
Sewaktu berada di Mekah untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, KH.Muhammad Khalil bekerja mengambil upah sebagai penyalin kitab-kitab yang diperlukan oleh para pelajar. Diriwayatkan bahwa pada waktu itulah timbul ilham antara mereka bertiga, yaitu: Syeikh Nawawi al-Bantani, Kiyai Muhammad Khalil al-Maduri dan Syeikh Saleh as-Samarani (Semarang) menyusun kaedah penulisan huruf Pegon. Huruf Pegon ialah tulisan Arab yang digunakan untuk tulisan dalam bahasa Jawa, Madura dan Sunda. Huruf Pegon tidak ubahnya tulisan Melayu/Jawi yang digunakan untuk penulisan bahasa Melayu.
karena Kyai Muhammad Khalil cukup lama belajar di beberapa pondok-pesantren di Jawa dan Mekah, maka sewaktu pulang dari Mekah, beliau terkenal sebagai ahli/pakar nahwu, fiqih, thariqat ilmu-ilmu lainnya. Untuk mengembangkan pengetahuan keislaman yang telah diperolehnya, Kiyai Muhammad Khalil selanjutnya mendirikan pondok-pesantren di Desa Cengkebuan, sekitar 1 kilometer arah Barat Laut dari desa kelahirannya. Kh. Muhammad Khalil al-Maduri adalah seorang ulama yang bertanggungjawab terhadap pertahanan, kekukuhan dan maju-mundurnya agama Islam dan bangsanya. Beliau sedar benar bahwa pada zamannya, bangsanya adalah dalam suasana terjajah oleh bangsa asing yang tidak seagama dengan yang dianutnya. Beliau dan keseluruhan suku bangsa Madura seratus peratus memeluk agama Islam, sedangkan bangsa Belanda, bangsa yang menjajah itu memeluk agama Kristian. Sesuai dengan keadaan beliau sewaktu pulang dari Mekah telah berumur lanjut, tentunya Kiyai Muhammad Khalil tidak melibatkan diri dalam medan perang, memberontak dengan senjata tetapi mengkaderkan pemuda di pondok pesantren yang diasaskannya. Kyai Muhammad Khalil sendiri pernah ditahan oleh penjajah Belanda kerana dituduh melindungi beberapa orang yang terlibat melawan Belanda di pondok pesantrennya. beberapa tokoh ulama maupun tokoh-tokoh kebangsaana lainnya yang terlibat memperjuangkan kemerdekaan Indonesia tidak sedikit yang pernah mendapat pendidikan dari Kiyai Muhammad Khalil al-Maduri .
Kesaktian lain dari Mbah Kholil, adalah kemampuannya membelah diri. Dia bisa berada di beberapa tempat dalam waktu bersamaan. Pernah ada peristiwa aneh saat beliau mengajar di pesantren. Saat berceramah, Mbah Kholil melakukan sesuatu yang tak terpantau mata. ”Tiba-tiba baju dan sarung beliau basah kuyub,” cerita kh Ghozi.
Para santri heran. Sedangkan beliau sendiri cuek, tak mau menceritakan apa-apa. Langsung ngloyor masuk rumah, ganti baju. Teka-teki itu baru terjawab setengah bulan kemudian. Ada seorang nelayan sowan Mbah Kholil. Dia mengucapkan terimakasih, karena saat perahunya pecah di tengah laut, langsung ditolong Mbah Kholil.
”Kedatangan nelayan itu membuka tabir. Ternyata saat memberi pengajian, Mbah Kholil dapat pesan agar segera ke pantai untuk menyelamatkan nelayan yang perahunya pecah. Dengan karomah yang dimiliki, dalam sekejap beliau bisa sampai laut dan membantu si nelayan itu,” papar kh Ghozi yang kini tinggal di Wedomartani Ngemplak Sleman ini.
di antara sekian banyak murid KH. Muhammad Khalil al-Maduri yang cukup menonjol dalam sejarah perkembangan agama Islam dan bangsa Indonesia ialah KH. Hasyim Asy’ari (pendiri Pondok-pesantren Tebuireng, Jombang, dan pengasas Nahdhatul Ulama / NU) Kiyai Haji Abdul Wahhab Hasbullah (pendiri Pondok-pesantren Tambakberas, Jombang); Kiyai Haji Bisri Syansuri (pendiri Pondok-pesantren Denanyar); Kiyai Haji Ma’shum (pendiri Pondok-pesantren Lasem, Rembang, adalah ayahanda Kiyai Haji Ali Ma’shum), Kiyai Haji Bisri Mustofa (pendiri Pondok-pesantren Rembang); dan Kyai Haji As’ad Syamsul `Arifin (pengasuh Pondok-pesantren Asembagus, Situbondo).
KH. Muhammad Khalil al-Maduri, wafat dalam usia yang lanjut 106 tahun, pada 29 Ramadan 1341 Hijrah/14 Mei 1923 Masehi.
Kiai Kholil lahir pada hari Selasa, 11 Jumadil Akhir 1235 H di Bangkalan Madura. Ayahnya bernama Abdul Latif bin Kiai Harun bin Kiai Muharram bin Kiai Asrol Karomah bin Kiai Abdullah bin Sayyid Sulaiman. Sayyid Sulaiman ialah cucu Sunan Gunung Jati. Oleh karena itu beliau sangat mengharap dan mohon kepada Allah SWT agar anaknya menjadi pemimpin umat serta mendambakan anaknya mengikuti jejak Sunan Gunung Jati.
Setelah tahun 1850 Kiai Kholil muda berguru kepada Kiai Muhammad Nur di Pesantren Langitan Tuban, kemudian untuk menambah ilmu dan pengalaman beliau nyantri di Pesantren Cangaan Bangil, Pasuruan. Dari sini pindah lagi ke Pesantren Keboncandi Pasuruan. Selama di Keboncandi beliau juga berguru kepada Kiai Nur Hasan di Sidogiri, Pasuruan. Selama di Keboncandi, beliau mencukupi kebutuhan hidup dan belajarnya sendiri dengan menjadi buruh batik, agar tidak merepotkan orang tuanya, meskipun ayahnya cukup mampu membiayainya.
Kemandirian Kiai Kholil nampak ketika beliau berkeinginan belajar ke Makkah, beliau tidak menyatakan niatnya kepada orang tuanya apalagi minta biaya, tetapi beliau memutuskan belajar di sebuah pesantren di Banyuwangi. Selama nyantri di Banyuwangi ini belaiau juga menjadi buruh pemetik kelapa pada gurunya, dengan diberi upah 2,5 sen setiap pohon, upah ini selalu ditabung.
Tahun 1859 ketika berusia 24 tahun Kiai Kholil memutuskan untuk berangkat ke Makkah dengan biaya tabungannya, tetapi sebelum berangkat oleh orang tuanya Kiai Kholil dinikahkan dengan Nyai Asyik. Di Makkah beliau belajar pada syekh dari berbagai madzhab di Masjidil Haram, tetapi beliau lebih banyak mengaji kepada syekh yang bermadzhab Syafi'i.
Sepulang dari Tanah Suci, Kiai Kholil dikenal sebagai ahli fiqih dan thoriqot yang hebat, bahkan ia dapat memadukan kedua ilmu itu dengan serasi dan beliau juga hafidz (hafal Al-Quran 30 juz). Kiai Kholil kemudian mendirikan pesantren di Desa Cengkebuan.
Setelah puterinya yang bernama Siti Khotimah dinikahkan dengan keponakannya sendiri Kiai Muntaha, pesantren di Desa Cengkebuan itu diserahkan kepada menantunya. Sedangkan Kiai Kholil sendiri mendirikan pesantren di Desa Kademangan, hampir di pusat kota sekitar 200 m sebelah barat alun-alun Kota Bangkalan. Di pesantren yang baru ini beliau cepat memperoleh santri. Santri yang pertama dari Jawa tercatat nama Hasyim Asy’ari dari Jombang.
Pada tahun 1924 di Surabaya ada sebuah kelompok diskusi yang bernama Tashwirul Afkar yang didirikan oleh seorang kiai muda Abduk Wahab Hasbullah. Dalam perkembangannya, ketika Kiai Wahab Hasbullah beserta Kiai Hasyim Asy’ari bermaksud mendirikan jam’iyah, Kiai Kholil memberikan restu dengan cara memberikan tongkat dan tasbih melalui Kiai As’ad kepada Kiai Hasyim Asy’ari.
Pada tanggal 29 Romadlon 1343 H dalam usia 91 tahun, karena usia lanjut belaiu wafat. Hampir semua pesantren di Indonesia yang ada sekarang masih mempunyai sanad dengan pesantren Kiai Kholil.
Sumber: Pendidikan Aswaja & Ke-NU-an untuk SMP/MTs. PW LP Ma’arif Jawa Timur.
Biografi Mbah KH. Sholeh Darat:
Gurunya Pendiri NU dan Muhammadiyah -
Membicarakan sosok ulama satu ini mungkin sebagian kita akan langsung teringat dengan ormas terbesar di Indonesia, yaitu NU dan Muhammadiyah. Dan memang tidak dipungkiri, Mbah Hasyim (pendiri NU) dan Mbah Ahmad Dahlan (Pendiri Muhammadiyah) kedua-duanya pernah berguru dan nyantri dengan ulama ini. Seorang ulama dengan sosok yang sangat berwibawa, alim, namun tetap zuhud dan tawadhu'. Ulama yang dimaksud tak lain dan tak bukan yaitu Mbah Sholeh Darat Semarang. Lantas, siapakah beliau ini dan bagaimana biografi perjalanan hidupnya? berikut ini admin akan sedikit mengulas mengenai beliau rahimahullahu ta'ala.
Mbah Sholeh Darat, begitu beliau banyak dikenal masyarakat luas di seluruh pelosok negeri tercinta ini. Nama lengkapnya Muhammad Shalih ibn Umar as-Samarani. Walaupun dikenal sebagai ulama Semarang namun jangan salah,beliau lahir tidak di Semarang namun tepatnya di desa Kedung Jumbleng, Kecamatan Mayong, Kabupaten Jepara, sekitar tahun 1235 hijriyah atau bertepatan dengan tahun 1820 masehi. Adapun nama Darat yang tersemat di belakang nama Sholeh adalah karena beliau tinggal di kawasan yang dekat dengan pantai utara Semarang. Adapun nama Darat kini tetap digigunakan dengan nama Nipah Darat dan Darat Tirto. Kampung Darat saat ini berada dalam wilayah elurahan Dadapsari, Kecamatan Semarang Utara.
Berguru Kepada Para Ulama
Sejak kecil Mbah Sholeh Darat telah didik untuk mengenal agama. Beliau dengan penuh semangat menimba ilmu agama dari para ulama nusantara yang hidup di masa itu. Diantara sederet nama para ulama ulama yang menjadi rujukan dan tempat nyantri beliau adalah:
- KH. Muhammad Sahid yang merupakan cucu dari Sayyidi Asy-Syaikh ahmad Mutamakkin, seorang waliyullah besar asal daerah Kajen, Margoyoso, Pati, Jawa Tengah. Darinya, beliau belajar banyak kitab, mulai dari Fathul Qarib, Minhajul Qawim, Syarh al-Khatib sampai Fathul Qarib, dan kitab-kitab lainnya.
- KH.R. Muhammad Sholeh ibn Asnawi, Kudus. Dari gurunya ini beliau mendapatkan kesempatan untuk menimba ilmu dan mempelajari kitab tafsir Jalalain yang sangat terkenal itu.
- Kyai Iskak Damaran. Dari beliau ini Mbah Sholeh belajar ilmu nahwu dan ilmu shorof
- Kyai Abu Abdillah Muhammad al-Hadi ibn Baquni. Darinya beliau belajar ilmu falak
- Maulana al-Habib Ahmad Bafaqih Ba'alawi. Darinya beliau mengkaji kitab Jauharah at-Tauhid karya Sayyidi Asy-Syaikh Ibrahim al-Laqani dan kitab Minhajul Abidin karya Sayyidi al-Imam al-Ghazali.
- Syaikh Abdul Ghani. Darinya beliau berkesempatan belajar kitab Masail as-Sittin karya Sayyidi Asy-Syaikh Abul Abbas Ahmad al-Mishri, sebuah kitab berisi tentang ajaran dasar islam populr di jawa sekitar abad ke-19.
- Kyai Syada' dan Kyai Murtadla.
- Sayyidi Asy-Syaikh Muhammad al-Muqri
- Sayyidi Asy-Syaikh Muhammad bin Sulaiman Hasbullah al-Makki
- Sayyidi Asy-Syaikh Ahmad ibn Zaini Dahlan
- Sayyidi Asy-Syaikh Ahmad Nahrawi
- Sayyidi Asy-Syaikh As-Sayyid Muhammad Saleh bin Sayyid Abdurrahman Az-Zawawi
- Sayyidi Asy-Syaikh Zahid
- Sayyidi Asy-Syaikh Umar Asy-Syami
- Sayyidi Asy-Syaikh Yusuf al-Mishri
- dan lain sebagainya
Dalam menimba ilmu, sosok Mbah Sholeh muda memang dikenal sebagai sosok santri yang sangat cerdas. Baik ketik masih di nusantara maupun ketika nyantri di Mekkah, pribadi beliau tetap sama, yaitu tekun, cerdas dan ulet. Tak mengherankan apabila di kemudian hari beliau mendapatkan izin dari para gurunya untuk mengajar di Makkah. Dan selama beliau mengajar di sana, banyak sekali para santri yang mempercayakan beliau menjadi guru spiritual mereka, terutama para santri dari kawasan melayu Indonesia.
Kembali Ke Tanah Air dan Menjadi Ulama Besar
Setelah dirasa cukup belajar dan menimba ilmu di Makkah al-Mukarramah, Mbah Sholeh akhirnya kembali lagi ke tanah air demi berjuang dan berkhidmat kepada umat dan tanah air tercinta yang saat itu sedang dalam penjajahan Belanda. Sesampainya di Tana Air, Mbah Sholeh segera mengajar di pondok pesantren Darat milik mertuanya sendiri, KH. Murtadlo. Di tangan beliau inilah, pesantren tersebut mengalami perkembangan sangat pesat. Banyak sekali para santri beliau yang berhasil dan menjadi tokoh besar tanah air. Kita sebut saja misalnya:
- Hadlratusy Syaikh KH. Hasyim Asy-ari Rahimahullahu Ta'ala, pendiri Jam'iyah Nahdlatul Ulama, Ormas islam terbesar di muka bumi ini.
- Sayyidi Asy-Syaikh KH. Ahmad Dahlan, sang pendiri ormas islam Muhammadiyah
- Sayyidi Asy-Syaikh Mahfudz At-Turmusi, Termas, Pacitan, ulama besar dunia, pakar hadits kelas dunia, sang pendiri pesantren Termas Pacitan
- Sayyidi Asy-Syaikh Idris, pendiri pesantren Jamsaren Solo
- Sayyidi Asy-Syaikh Dalhar Watucongol, Wali Besar tanah jawi, pendiri pesantren Watucongol, Muntilan
- Sayyidi Asy-Syaikh Bisri Syamsuri, ulama besar tanah air
- Sayyidi Asy-Syaikh Sya'ban, ulama besar tanah air dan ahli ilmu falak yang amat tersohor
- Raden Ajeng Kartini. Mbah Sholeh merupakan guru spiritual bagi RA. Kartini, seorang putri Indonesia yang Harum Namanya, sang pejuang emansipasi wanita.
- dan lain sebagainya
Karya Mbah Sholeh Menginspirasi Kata Mutiara RA. Kartini "Habis Gelap Terbitlah Terang."
Sebagaimana disebutkan bahwa salah satu murid kesayangan Mbah Soleh Darat adalah RA. Kartini. Ada kisah menarik mengapa RA. Kartini bisa menjadi murid beliau. Diceritakan bahwa suatu ketika RA. Kartini pernah mengalami kejadian tidak menyenangkan ketika sedang mengaji ilmu agama. Guru ngajinya memarahinya karena dia berani bertanya tentang arti sebuah ayat dalam al-Quran. Setelah itu RA. Kartini berkunjung ke ke rumah pamannya yang merupakan seorang Bupati Demak. Di sana ia menyempatkan diri mengikuti pengajiannya Mbah Sholeh darat. Kebetulan pada saat itu Mbah Sholeh sedang membahas tafsir surah al-Fatihah. RA. Kartini pun amat tertarik dan senang dengan penjelasan dan penjabaran Mbah Sholeh. Setelah akrab dengan beliau, RA. Kartini kemudian meminta agar beliau menerjemahkan al-Quran ke dalam bahasa Jawa agar mudah dipahami. Menurut RA. Kartini, percuma saja membaca al-Quran apabila tidak tahu artinya. Akhirnya, Mbah Sholeh pun menerjemahlan al-Quran ke dalam bahasa Jawa. Kitab terjemahan itu kemudian diberi nama Kitab Faid ar-Rahman. Mengingat waktu itu penjajah Belanda melarang orang menerjemahkan al-Quran, maka kemudian mbah Sholeh dalam menerjemahkannya menggunakan huruf arab pegon sehingga penjajah tidak ada yang mencurigainya. Dan perlu diketahui pula bahwasanya kitab Faid ar-Rahman ini merupakan kitab tafsir dan terjemahan pertama di Unswantara dengan menggunakan bahasa Jawa dengan aksara Arab Pegon. Kitab Faid ar-Rahman ini kemudian dihadiahkan kepada R.A. kartini ketika beliau menikah dengan Raden Mas Joyodiningrat, seorang bupati Rembang, Jawa Tengah.
Raden Ajeng Kartini sangat menyukai hadiah Mbah Sholeh darat tersebut, sampai beliau berkata, "selama ini surah al-Fatihah gelap bagi saja. Saya tak mengerti sedikitpun maknanya. tetapi sejak hari ini ia menjadi terang benderang sampai kepada makna tersiratnya, sebab romo kyai telah menerangkannya dalam bahasa jawa yang saya pahami."
Dari kitab Faid ar-Rahman ini RA. Kartini sempat membaca sebuah ayat yang di kemudian hari menjadi inspirasi untuk kata mutiaranya, "Habis Gelap terbitlah Terang". ayat yang dimaksud adalah Q.S. Al-Baqarah ayat 257. Dalam banyak suratnya kepada Abendanon, RA. Kartini banyak mengulang kata "dari gelap menuju cahaya" yang dalam bahasa belanda tertulis "Door Duisternis Toot Licht". Oleh Armin Pane, ungkapan ini diterjemahkan menjadi "Habis Gelap terbitlah Terang", yang menjadi judul buku kumpulan surat-menyuratnya. Adapun kitab Faid ad-Rahman itu sendiri tidak ditulis oleh Mbah Sholeh sampai selesai 30 juz, sebab sebelum sempat menyelesaikannya beliau sudah dipanggi oleh Allah Yang Maha Kuasa.
Bisa dikatakan bahwa mbah Sholeh darat merupakan salah satu ulama nusantara yang mendunia dan sangat produktif dalam menelurkan buah karya. Sosoknya yang sangat sederhana dan bersahaja membuat karyanya juga penuh dengan kesederhanaan, ketawadhuan namun sangat berkualitas dan mendalam. Dalam menulis kitab terkadang beliau menyisipkan kalimat merendah seperti misalnya, "Buku ini dipersembahkan kepada orang awam dan orang-orang bodoh seperti saya." Dalam menerjemahkan matan al-Hikam misalnya, pada bagian pendahuluan beliau menulis begini, "ini kitab ringkasan dari matan al-Hikam karya al-arif billah asy-Syaikh ahmad Ibn Athaillah, saya ringkas sepertiga dari asal agar memudahkan terhadap orang awam seperti saya, saya terjemahkan dengan bahasa Jawa agar cepat paham bagi orang yang belajar agama atau mengaji."
Dibalik sikap beliau yang penuh ketawadhuan tersebut sebetulnya menjadi isyarat bagi kita bahwa karya-karya beliau sebetulnya juga sangat tepat diperuntukkan bagi orang awam. Beliau kiranya berusaha untuk menyajikan kitab-kitab yang penuh dengan ilmu yang mudah dipahami, sederhana, dan sangat cocok bagi orang jawa yang belum memahami seluk-beluk bahasa Arab.
Dari sekian banyak kitab karya beliau yang dapat kita jelaskan di sini, adalah:
Karya-Karya Mbah Sholeh Darat
Bisa dikatakan bahwa mbah Sholeh darat merupakan salah satu ulama nusantara yang mendunia dan sangat produktif dalam menelurkan buah karya. Sosoknya yang sangat sederhana dan bersahaja membuat karyanya juga penuh dengan kesederhanaan, ketawadhuan namun sangat berkualitas dan mendalam. Dalam menulis kitab terkadang beliau menyisipkan kalimat merendah seperti misalnya, "Buku ini dipersembahkan kepada orang awam dan orang-orang bodoh seperti saya." Dalam menerjemahkan matan al-Hikam misalnya, pada bagian pendahuluan beliau menulis begini, "ini kitab ringkasan dari matan al-Hikam karya al-arif billah asy-Syaikh ahmad Ibn Athaillah, saya ringkas sepertiga dari asal agar memudahkan terhadap orang awam seperti saya, saya terjemahkan dengan bahasa Jawa agar cepat paham bagi orang yang belajar agama atau mengaji."
Dibalik sikap beliau yang penuh ketawadhuan tersebut sebetulnya menjadi isyarat bagi kita bahwa karya-karya beliau sebetulnya juga sangat tepat diperuntukkan bagi orang awam. Beliau kiranya berusaha untuk menyajikan kitab-kitab yang penuh dengan ilmu yang mudah dipahami, sederhana, dan sangat cocok bagi orang jawa yang belum memahami seluk-beluk bahasa Arab.
Dari sekian banyak kitab karya beliau yang dapat kita jelaskan di sini, adalah:
- Kitab tafsir dan terjemah Faid Ar-Rahman
- Kitab Munjiyat, sebuah kitab tentang tasawuf, yang berisi petikan dari kitab Ihya' Ulumiddin karya Hujjatul Islam Imam al-Ghazali
- Kitab Majmu'ah asy-Syarif al-Kafiyah lil 'Awam. Sebuah kitab yang membicarakan ilmu syariat untuk orang awam
- Kitab al-Hikam. Sebuah kitab tentang tasawuf yang berisi buah pikiran Syaikh Ibn Athaillah as-Sakandari dalam al-Hikam
- Kitab Lathaif ath-Thaharah. Sebuah kitab berisi penjelasan seputar bersui
- Kitab ash-Shalah. Sebuah kitab berisi penjelasan seputar shalat beserta tatacaranya
- Kitab Manasik al-Hajj. Sebuah kitab berisi tentang panduan tata cara melaksanakan ibadah haji
- Kitab Asrarus Shalah. sebuah kitab yang membicarakan rahasia-rahasia yang terkandung dalam shalat
- Kitab Hadits al-Mi'raj. Sebuah kitab tentang perjalanan isra' mi'raj kanjeng nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam untuk menerima perintah shalat lima waktu
- Kitab al-Wajiz. Sebuah kitab yang berisi penjelasan tentang tasawuf dan akhlak
- Minhaj al-Atqiya'. Sebuah kitab yang berisi penjelasan seputar tasawuf dan akhlak
- Tarjamah sabil al-Abid 'Ala Jauharah at-Tauhid. Sebuah kitab yang berisi tentang aqidah Ahli Sunnah wal Jamaah sesuai dengan ajran Imam Abul Hasan al-Asyari dan Imam Abu Manshur al- Maturidi.\
- dan lain sebagainya
Wafatnya Mbah Sholeh Darat
Mbah Sholeh Darat atau Sayyidi Asy-Syaikh Al-Hajj Sholeh Darat wafat pada hari Jumat wage, bertepatan dengan tanggal 28 Ramadhan tahun 1321 hijriyah atau 18 Desember tahun 1903 masehi. Beliau kemudian dimakamkan di pemakaman umum Bergota, Semarang. Beliau meninggal dalam usia 83 tahun. Semoga Allah mengampuni segala dosa dan kesalahan beliau dan mengangkat derajat beliau setinggi-tingginya hingga bisa berkumpul bersama Rasulullah, para sahabat, tabi'in, dan ulama al-amilin di akhirat kelak, kekal bersama mereka. aamiin.
KH. Hasyim Asy’ari
Hadrotus Syekh Hasyim Asy’ari. Nama ini begitu popular sebagai tokoh pengembang agama Islam di Nusantara. Kh Hasyim As’ari adalah kakek KH,Abdurrahman wahid presiden Indonesia ke 4 sekaligus pendiri Pondok Pesantren Tebu Ireng Jombang, pendiri Nahdhatul Ulama (Organisasi Islam terbesar di Indonesia). Beliau juga berasal dari garis keturunan Sultan Hadiwijaya raja Kerajaan Pajang. Kerajaan ini adalah pecahan dai Kerajaan Mataram Islam. Kh Hasyim As’ari lahir tanggal 10 April 1875 dan wafat tanggal 25 Juli 1947 dimakamkan di kompleks Pondok Pesantren Tebu Ireng Jombang Jawa Timur.
Asal-usul dan keturunan K.H M.Hasyim Asy’ari tidak dapat dipisahkan dari riwayat kerajaan Majapahit dan kerajaan Islam Demak. Salasilah keturunannya, sebagaimana diterangkan oleh K.H. A.Wahab Hasbullah menunjukkan bahawa leluhurnya yang tertinggi ialah neneknya yang kedua yaitu Brawijaya VI. Ada yang mengatakan bahwa Brawijaya VI adalah Kartawijaya atau Damarwulan dari perkahwinannya dengan Puteri Champa lahirlah Lembu Peteng (Brawijaya VII). Silsilah Kh Hasyim As’ari mulai dari Sunan giri dapat diurutkan sebagai berikut: Ainul Yaqin (Sunan Giri), Abdurrohman (Jaka Tingkir), Abdul Halim (Pangeran Benawa), Abdurrohman (Pangeran Samhud Bagda), Abdul Halim, Abdul Wahid, Abu Sarwan, KH. Asy'ari (Jombang), KH. Hasyim Asy'ari (Jombang)
Semasa hidupnya, ia mendapatkan pendidikan dari
ayahnya sendiri, terutama pendidikan di bidang ilmu-ilmu Al-Qur’an dan
literatur agama lainnya. Setelah itu, ia menjelajah menuntut ilmu ke berbagai
pondok pesantren, terutama di Jawa, yang meliputi Shone, Siwilan Buduran,
Langitan Tuban, Demangan Bangkalan, dan Sidoarjo, ternyata K. H. Hasyim Asy’ari
merasa terkesan untuk terus melanjutkan studinya. Ia berguru kepada K. H.
Ya’kub yang merupaka kiai di pesantren tersebut. Kiai Ya’kub lambat laun
merasakan kebaikan dan ketulusan Hasyim Asy’ari dalam perilaku kesehariannya,
sehingga kemudian ia menjodohkannya dengan putrinya, Khadijah. Tepat pada usia
21 tahun, tahun 1892, Hasyim Asy’ari melangsungkan pernikahan dengan putri K.H.
Ya’kub tersebut.
Pada tahun 1892, KH Hasyim Asyari pergi menimba ilmu ke Mekah, dan
berguru pada Syekh Ahmad Khatib Minangkabau, Syekh Mahfudh at-Tarmisi, Syekh
Ahmad Amin Al-Aththar, Syekh Ibrahim Arab, Syekh Said Yamani, Syekh Rahmaullah,
Syekh Sholeh Bafadlal, Sayyid Abbas Maliki, Sayyid Alwi bin Ahmad As-Saqqaf,
dan Sayyid Husein Al-Habsyi. Tepat pada tanggal 26 Rabi’ Al-Awwal 120 H.
bertepatan 6 Februari 1906 M., Hasyim Asy’ari mendirikan Pondok Pesantren
Tebuireng. Oleh karena kegigihannya dan keikhlasannya dalam menyosialisakan
ilmu pengetahuan, dalam beberapa tahun kemudian pesantren relatif ramai dan
terkenal.
Kh Hasyim Asy’ari mendirikan Nahdlatul UlamaTanggal 31 Januari 1926
bersama dengan kyai-kyai lainnya. Organisasi keagamaan ini pun berkembang pesat
dan pengaruh Kyai Hasyim Asy'ari juga semakin besar. NU berperan besar bagi
pengembangan Islam ke desa-desa maupun perkotaan di Jawa. Sebagai orang yang
berpandangan luas, Kh Hasim as'ari sangat bersifat toleran terhadap aliran atau
pendapat yang berbeda dengan konsep dan pemikirannya. Ini dibuktikan dengan
akrabnya beliau dengan Kh Ahmad Dahlan sebagai pendiri Muhammadiyah.. Ia
mengutamakan persatuan dan ukhuwah Islamiyah dengan menghindari perpecahan di
tubuh umat ISlam. Pada masa pendudukan Jepang, Kyai Hasyim Asy'ari pernah
ditangkap tanpa sebab yang jelas. Namun kemudian ia dibebaskan melalui
perjuangan anaknya anaknya, K.H. Wahid Hasyim. Setelah Indonesia merdeka,
melalui pidato-pidatonya K.H. Hasyim Asy’ari membakar semangat para pemuda
supaya mereka berani berkorban untuk mempertahankan kemerdekaan. Ia meninggal
dunia pada tanggal 25 Juli 1947 karena pendarahan otak dan dimakamkan di
Tebuireng.
KH Abdul Wahab Hasbullah
Prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat tidak akan mengurangi ruh spiritualitas umat beragama dan kadar keimanan seorang Muslim.
Prinsip
kebebasan berpikir dan berpendapat tidak akan mengurangi ruh spiritualitas umat
beragama dan kadar keimanan seorang Muslim.
KH Abdul Wahab Hasbullah
adalah salah satu ulama besar yang dimiliki Indonesia. Kiai Wahab merupakan
salah seorang pendiri Nahdlatul Ulama (NU), bersama dengan KH Hasyim Asy’ari
dan KH Bisri Syansuri.
Ketokohan dan keilmuan yang
dimilikinya, telah diakui sejumlah kalangan, apalagi di lingkungan organisasi
Nahdlatul Ulama (NU). Kiai Wahab merupakan pencetus dasar-dasar kepemimpinan
dalam organisasi NU dan membaginya dalam dua badan, Syuriyah dan Tanfidziyah
sebagai upaya menyatukan dua generasi berbeda, yakni kalangan tua dan muda.
Tahun 1916, ia mendirikan
organisasi Islam bernama Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air). Kemudian
pada 1926, ia ditunjuk sebagai ketua Tim Komite Hijaz yang dikirim ke Makkah
untuk bertemu dengan Raja Saud (Arab Saudi), yang bermazhab Wahabi, Ketika itu,
gerakan Wahabi di Makkah berencana untuk menghancurkan berbagai situs Islam
agar tidak menjadi ‘berhala’ bagi umat. Kiai Wahab meminta kebijakan Raja Saud
untuk situs-situs Islam tidak dihancurkan. Tujuannya agar umat bisa mengambil
hikmah dan pelajaran dari situs-situs tersebut. Persoalan ini pula yang
melandasi pemikiran KH Hasyim Asy’ari untuk mendirikan Nahdlatul Ulama tahun
1926.
Saat pendudukan Jepang di
Indonesia, Kiai Wahab pernah menjadi Panglima Laskar Mujahidin (Hizbullah). Dan
ketika melawan Jepang ini, bersama pasukannya, Kiai Wahab berhasil membebaskan
KH M Hasyim Asy’ari dari penjara. Dan setelah Indonesia merdeka, pengasuh
pondok pesantren Tambak Beras, Jombang, ini pernah pula menjadi anggota Dewan
Pertimbangan Agung (DPA), bersama dengan Ki Hajar Dewantara, pendiri Taman
Siswa.
Haus akan Ilmu
KH Wahab Hasbullah dilahirkan pada Maret 1888, di Tambakberas, Jombang, Jawa
Timur, dan wafat pada 29 Desember 1971. Ayahnya, Kiai Said, adalah pengasuh
Pesantren Tambakberas, Jombang, Jawa Timur, sedangkan ibunya bernama Fatimah.
Semenjak kanak-kanak, Abdul
Wahab dikenal kawan-kawannya sebagai pemimpin dalam segala permainan. Beliau
dididik ayahnya sendiri cara hidup seorang santri. Ia diajak shalat berjamaah,
dan sesekali dibangunkan malam hari untuk shalat tahajud.
Tak hanya itu, sang ayah juga
membimbingnya untuk menghafalkan Juz Amma dan membaca Alquran dengan tartil dan
fasih. Lalu ia dididik mengenal kitab-kitab kuning, dari kitab yang paling
kecil (tipis) dan isinya diperlukan untuk amaliyah sehari-hari hingga yang
tebal. Misalnya, Kitab Safinah Annaja, Fath al Qorib, Fath al-Mu’in, Fath
al-Wahab, Muhadzdzab dan Al Majmu’. Ia juga belajar Ilmu Tauhid, Tafsir, Ulum
al-Qur’an, Hadits, dan Ulum al-Hadits.
Kemauan yang keras untuk
menimba ilmu sebanyak-banyaknya tampak semenjak masa kecilnya yang tekun dan
cerdas memahami berbagai ilmu yang dipelajarinya. Sampai berusia 13 tahun Abdul
Wahab berada dalam asuhan langsung ayahnya.
Kemudian, ia menghabiskan masa
remajanya dengan menimba ilmu di sejumlah pesantren. Ia pernah belajar di
Pesantren Langitan Tuban, Pesantren Mojosari Nganjuk, Pesantren Tawangsari
Sepanjang. Ia juga pernah berguru kepada Syekh R Muhammad Kholil dari Bangkalan
Madura dan KH M Hasyim Asy’ari, pengasuh Pesantren Tebuireng Jombang.
Tak puas hanya belajar di
pesantren-pesantren tersebut, pada usia sekitar 27 tahun, pemuda Abdul Wahab
pergi ke Makkah untuk menuntut ilmu. Di tanah suci itu, ia mukim selama lima
tahun dan belajar pada Syekh Mahfudz at-Tirmasi (Termas, Pacitan) dan Syekh
al-Yamani. Setelah pulang ke Tanah Air, ia langsung diterima oleh umat Islam
dan para ulama dengan penuh kebanggaan.
Tashwirul Afkar
Di kalangan pesantren, sosok KH Abdul Wahab Hasbullah dikenal sebagai seorang
ulama yang berpandangan modern. Ia selalu menekankan pentingnya kebebasan dalam
keberagaman, terutama kebebasan berpikir dan berpendapat di kalangan umat Islam
Indonesia.
Untuk itu, ia mendirikan surat
kabar, yaitu harian umum Soeara Nahdlatul Oelama atau juga dikenal dengan
Soeara NO dan Berita Nahdlatul Ulama.
Kiai Wahab juga membentuk
kelompok diskusi antarulama, baik di lingkungan NU, Muhammadiyah, dan
organisasi Islam lainnya, pada 1914 di Surabaya. Kelompok diskusi bentukan Kyai
Wahab ini diberi nama Tashwirul Afkar (Pergolakan Pemikiran).
Mula-mula kelompok ini
mengadakan kegiatan dengan peserta yang terbatas. Tetapi, berkat prinsip
kebebasan berpikir dan berpendapat yang diterapkan dan topik-topik yang
dibicarakan mempunyai jangkauan kemasyarakatan yang luas, dalam waktu singkat
kelompok ini menjadi sangat populer dan menarik perhatian di kalangan pemuda.
Banyak tokoh Islam dari berbagai kalangan bertemu dalam forum itu untuk
memperdebatkan dan memecahkan permasalahan pelik yang dianggap penting.
Tashwirul Afkar tidak hanya
menghimpun kaum ulama pesantren. Ia juga menjadi ajang komunikasi dan forum
saling tukar informasi antartokoh nasional sekaligus jembatan bagi komunikasi
antara generasi muda dan generasi tua. Dari posnya di Surabaya, kelompok ini
menjalar hampir ke seluruh kota di Jawa Timur. Bahkan, gaungnya sampai ke
daerah-daerah lain di seluruh Jawa.
Tak hanya mendiskusikan
masalah-masalah kemasyarakatan yang muncul, kelompok ini juga menggalang kaum
intelektual dari tokoh-tokoh pergerakan di Indonesia. Karena sifat rekrutmennya
yang lebih mementingkan progresivitas berpikir dan bertindak, akhirnya kelompok
diskusi ini menjadi forum pengkaderan bagi kaum muda yang gandrung pada
pemikiran keilmuan dan dunia politik.
Bersamaan dengan itu, dari
rumahnya di Kertopaten, Surabaya, Kiai Wahab bersama KH Mas Mansur menghimpun
sejumlah ulama dalam organisasi Nahdlatul Wathan yang mendapatkan kedudukan
badan hukumnya pada 1916. Dari organisasi inilah KH Wahab mendapat kepercayaan
dan dukungan penuh dari ulama pesantren yang sepaham dengan pemikirannya. Di
antara ulama yang berhimpun itu adalah Kiai Bisri Syamsuri (dari Denanyar
Jombang), Kiai Abdul Halim (Leimunding Cirebon), KH Alwi Abdul Aziz, Kiai
Ma’shum (Lasem), dan Kiai Cholil (Kasingan Rembang). Sementara di kalangan
pemudanya disediakan wadah, Syubban al-Wathan (Pemuda Tanah Air).
Kebebasan berpikir dan berpendapat yang dipelopori Kiai Wahab dengan membentuk
Tashwirul Afkar merupakan warisan terpenting bagi kaum Muslim Indonesia.
Ia telah mencontohkan kepada
generasi penerusnya bahwa prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat dapat
dijalankan dalam nuansa keberagamaan yang kental. Prinsip kebebasan berpikir
dan berpendapat tidak akan mengurangi ruh spiritualitas umat beragama dan kadar
keimanan seorang Muslim. Dengan prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat,
kaum Muslim justru akan mampu memecahkan problem sosial kemasyarakatan dengan
pisau analisis keislaman.
Pada 1920, Kiai Wahab bersama
dengan Dr Soetomo merintis terbentuknya Islam Studie Club. Melalui Islam Studie
Club, kedua tokoh pergerakan ini merintis sebuah gerakan yang kelak menjadi
cikal bakal munculnya pemikiran yang memberikan arah bagi kerja sama antara
kekuatan Islam dan Nasionalis menuju terciptanya tatanan masyarakat maju dan
modern tanpa mengenyampingkan nilai-nilai keagamaan. Ini merupakan sumbangan
terbesar yang diberikan seorang ulama kepada bangsa.
Melalui Tashwirul Afkar,
Nahdlatul Wathan dan Syubban al-Wathan, maupun Islam Studie Club solidaritas di
kalangan kaum pergerakan dan tokoh keagamaan kian memuncak. Hal ini menimbulkan
dampak makin bergeloranya semangat cinta Tanah Air di kalangan pemuda. ed:sya
Mengembangkan Dakwah Melalui
Media
Bersama tokoh NU lainnya, Kiai
Wahab pernah membeli sebuah percetakan beserta sebuah gedung sebagai pusat
aktivitas NU di Jalan Sasak 23 Surabaya. Dari sini kemudian ia merintis tradisi
jurnalistik modern dalam NU. Ini dilandasi oleh pemikirannya yang sederhana,
yaitu bagaimana menyebarkan gagasan NU secara lebih efektif dan efisien yang
selama ini dijalankan melalui dakwah panggung dan pengajaran di pesantren.
Dari percetakan ini kemudian
diterbitkan majalah tengah bulanan Soeara Nahdlatul Oelama. Selama tujuh tahun
majalah ini dipimpin Kiai Wahab sendiri. Teknis redaksional dari majalah
tersebut lalu disempurnakan oleh Kiai Machfudz Siddiq dan namanya diganti
menjadi Berita Nahdlatul Ulama. Di samping itu diterbitkan pula Suluh Nahdlatul
Ulama, lalu Terompet Anshor, dan majalah berbahasa Jawa Penggugah. Dari tradisi
kepenulisan ini NU pernah melahirkan jurnalis-jurnalis ternama, seperti Asa
Bafaqih, Saifuddin Zuhri, dan Mahbub Junaidi. Juga memiliki surat kabar
prestisius seperti Duta Masyarakat. nidia ed:sya
Inspirator GP Ansor
Keberadaan Gerakan Pemuda
Anshor (GP Anshor) tidak terlepas dari peran KH Abdul Wahab Hasbullah.
Kelahiran organisasi pemuda NU ini berawal dari perbedaan antara tokoh
tradisional dan tokoh modernis yang muncul di tubuh Nahdlatul Wathan,
organisasi keagamaan yang bergerak di bidang pendidikan Islam, pembinaan
mubaligh, dan pembinaan kader.
KH Abdul Wahab Hasbullah,
tokoh tradisional dan KH Mas Mansyur yang berhaluan modernis, akhirnya menempuh
arus gerakan yang berbeda justru di saat tengah tumbuhnya semangat untuk
mendirikan organisasi kepemudaan Islam.
Dua tahun setelah perpecahan
itu, pada 1924, para pemuda yang mendukung KH Abdul Wahab Hasbullah membentuk
wadah dengan nama Syubbanul Wathan (Pemuda Tanah Air). Organisasi inilah yang
menjadi cikal bakal berdirinya GP Ansor setelah sebelumnya mengalami perubahan
nama seperti Persatuan Pemuda NU (PPNU), Pemuda NU (PNU), dan Anshoru Nahdlatul
Oelama (ANO).
Penggunaan nama Ansor ini
merupakan saran KH Wahab Hasbullah. Nama ini diambil dari nama kehormatan yang
diberikan Nabi Muhammad SAW kepada penduduk Madinah yang telah berjasa dalam
perjuangan membela dan menegakkan agama Allah. Dengan demikian, keberadaan GP
Ansor dimaksudkan dapat mengambil hikmah serta teladan terhadap sikap,
perilaku, dan semangat perjuangan para sahabat Nabi yang mendapat predikat
Ansor tersebut. Gerakan ANO harus senantiasa mengacu pada nilai-nilai dasar sahabat
Ansor, yakni sebagi penolong, pejuang, dan bahkan pelopor dalam menyiarkan,
menegakkan, dan membentengi ajaran Islam.
Meski ANO dinyatakan sebagai
bagian dari NU, secara formal organisatoris belum tercantum dalam struktur
organisasi NU. Baru pada Muktamar NU ke-9 di Banyuwangi, tepatnya pada 10
Muharram 1353 H atau 24 April 1934, ANO diterima dan disahkan sebagai bagian
(departemen) pemuda NU.
Dimasukkannya ANO sebagai
salah satu departemen dalam struktur kelembagaan NU berkat perjuangan kiai-kiai
muda seperti KH Machfudz Siddiq, KH A Wahid Hasyim, KH Dachlan Kertosono,
Thohir Bakri, dan Abdullah Ubaid serta dukungan dari ulama senior KH Abdul
Wahab Hasbullah.
Pada masa penjajahan Jepang,
keberadaan organisasi-organisasi pemuda, termasuk ANO, diberangus. Setelah
revolusi fisik (1945-1949) usai, tokoh ANO Surabaya, Mohammad Chusaini Tiway,
mengemukakan ide untuk mengaktifkan kembali ANO. Ide ini mendapat sambutan
positif dari KH A Wahid Hasyim, Menteri Agama RIS kala itu. Maka, pada 14
Desember 1949 lahir kesepakatan membangun kembali ANO dengan nama baru, yakni
Gerakan Pemuda Ansor, disingkat Pemuda Ansor (kini lebih pupuler disingkat GP
Ansor).
(Sumber : republika.co.id/koran/0/89451/KH_Abdul_Wahab_Hasbullah_Pemikir_Progresif_NU)
KH. A hmad Dahlan
Kyai Haji Ahmad
Dahlan adalah nama popular
sebagai pendiri organisasi Islam Muhammadiyah sekaligus pahlawan nasional yang
banyak berjasa dibidang pendidikan modern di Indonesia. Ia dilahirkan tanggal
23 Februari 1923 putra Kh Abu Bakar (seorang ulama dan khatib terkemuka Masjid
Kesultanan Yogyakarta). Kh Ahmad Dahlan lahir dari keluarga Kiyai, terpelajar
dan tergolong kaum ningrat Jawa. Kh Ahmad Dahlan berasal dari garis keturunan Maulana Malik Ibrahim, salah seorang yang terkemuka di antara
Walisongo, yaitu pelopor penyebaran agama Islam di Jawa.
Pola pemikiran Kh Ahmad Dahlan banyak dipengaruhi pemikiran
Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha dan Ibnu Taimiyah ketika Ia tinggal
dan belajar selama lima tahun di Mekkah dan berguru kepada Syeh Ahmad Khatib
yang juga guru dari pendiri NU, KH. Hasyim Asyari. Sepulang dari Mekkah, ia menikah dengan Siti Walidah, sepupunya
sendiri, anak Kyai Penghulu Haji Fadhil, yang kelak dikenal dengan Nyai Ahmad
Dahlan, seorang Pahlawanan Nasional dan pendiri Aisyiyah. Dari perkawinannya
dengan Siti Walidah, KH. Ahmad Dahlan mendapat enam orang anak yaitu Djohanah,
Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, Siti Zaharah. Pada tahun
1912, Ahmad Dahlan pun mendirikan organisasi Muhammadiyah di kampung Kauman,
Yogyakarta untuk melaksanakan cita-cita pembaruan Islam di bumi Nusantara.
Ahmad Dahlan ingin mengadakan suatu pembaruan dalam cara berpikir dan beramal
menurut tuntunan agama Islam. la ingin mengajak umat Islam Indonesia untuk
kembali hidup menurut tuntunan al-Qur'an dan al-Hadits. Perkumpulan ini berdiri
bertepatan pada tanggal 18 Nopember 1912. Dan sejak awal Dahlan telah
menetapkan bahwa Muhammadiyah bukan organisasi politik tetapi bersifat sosial
dan bergerak di bidang pendidikan. Disamping aktif dalam menggulirkan
gagasannya tentang gerakan dakwah Muhammadiyah, ia juga dikenal sebagai seorang
wirausahawan yang cukup berhasil dengan berdagang batik yang saat itu merupakan
profesi wiraswasta yang cukup menggejala di masyarakat.
Sebagai seorang yang aktif dalam kegiatan bermasyarakat, Dahlan dengan mudah diterima dan dihormati di kalangan masyarakat, sehingga ia mendapat tempat di organisasi Jam'iyatul Khair, Budi Utomo, Syarikat Islam dan Comite Pembela Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Gagasan pendirian Muhammadiyah oleh Ahmad Dahlan mendapatkan tentangan baik dari keluarga maupun masyarakat sekitarnya. Berbagai fitnahan, tuduhan dan hasutan datang bertubi-tubi kepadanya. la dituduh hendak mendirikan agama baru yang menyalahi agama Islam. Ada yang menuduhnya kyai palsu, karena sudah meniru-niru bangsa Belanda yang Kristen, mengajar di sekolah Belanda, serta bergaul dengan tokoh-tokoh Budi Utomo yang kebanyakan dari golongan priyayi.
Sebagai seorang yang aktif dalam kegiatan bermasyarakat, Dahlan dengan mudah diterima dan dihormati di kalangan masyarakat, sehingga ia mendapat tempat di organisasi Jam'iyatul Khair, Budi Utomo, Syarikat Islam dan Comite Pembela Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Gagasan pendirian Muhammadiyah oleh Ahmad Dahlan mendapatkan tentangan baik dari keluarga maupun masyarakat sekitarnya. Berbagai fitnahan, tuduhan dan hasutan datang bertubi-tubi kepadanya. la dituduh hendak mendirikan agama baru yang menyalahi agama Islam. Ada yang menuduhnya kyai palsu, karena sudah meniru-niru bangsa Belanda yang Kristen, mengajar di sekolah Belanda, serta bergaul dengan tokoh-tokoh Budi Utomo yang kebanyakan dari golongan priyayi.
Pada tanggal 20 Desember 1912, Ahmad Dahlan mengajukan permohonan kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk mendapatkan badan hukum. Permohonan itu baru dikabulkan pada tahun 1914, dengan Surat Ketetapan Pemerintah No. 81 tanggal 22 Agustus 1914. Izin itu hanya berlaku untuk daerah Yogyakarta dan organisasi ini hanya boleh bergerak di daerah Yogyakarta. Dari Pemerintah Hindia Belanda timbul kekhawatiran akan perkembangan organisasi ini. Maka dari itu kegiatannya dibatasi. Walaupun Muhammadiyah dibatasi, tetapi di daerah lain seperti Srandakan, Wonosari, Imogiri dan lain-Iain telah berdiri cabang Muhammadiyah. Hal ini jelas bertentangan dengan keinginan pemerintah Hindia Belanda. Untuk mengatasinya, maka KH. Ahmad Dahlan menyiasatinya dengan menganjurkan agar cabang Muhammadiyah di luar Yogyakarta memakai nama lain. Misalnya Nurul Islam di Pekalongan, Al-Munir di Ujung Pandang. Sedangkan di Solo berdiri perkumpulan Sidiq Amanah Tabligh Fathonah (SATF) yang mendapat pimpinan dari cabang Muhammadiyah. Bahkan dalam kota Yogyakarta sendiri ia menganjurkan adanya jama'ah dan perkumpulan untuk mengadakan pengajian dan menjalankan kepentingan Islam.
Dahlan juga bersahabat dan berdialog dengan tokoh agama lain seperti Pastur van Lith pada 1914-1918. Van Lith adalah pastur pertama yang diajak dialog oleh Dahlan. Pastur van Lith di Muntilan yang merupakan tokoh di kalangan keagamaan Katolik. Pada saat itu Kiai Dahlan tidak ragu-ragu masuk gereja dengan pakaian hajinya. Gagasan pembaharuan Muhammadiyah disebarluaskan oleh Ahmad Dahlan dengan mengadakan tabligh ke berbagai kota, disamping juga melalui relasi-relasi dagang yang dimilikinya. Gagasan ini ternyata mendapatkan sambutan yang besar dari masyarakat di berbagai kota di Indonesia. Ulama-ulama dari berbagai daerah lain berdatangan kepadanya untuk menyatakan dukungan terhadap Muhammadiyah. Muhammadiyah makin lama makin berkembang hampir di seluruh Indonesia. Oleh karena itu, pada tanggal 7 Mei 1921 Dahlan mengajukan permohonan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk mendirikan cabang-cabang Muhammadiyah di seluruh Indonesia. Permohonan ini dikabulkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 2 September 1921. Sampai saat ini Muhammadiyah terus berkembang dan menjadi organisasi Islam modern yang mengembangkan sistem pendidikan mulai dari pendidikan dasar hingga perguruan tinggi. Muhammadiyah juga berkembang menjadi organisasi Islam terbesar kedua setelah NU.
Atas jasa-jasa KH. Ahmad Dahlan dalam membangkitkan kesadaran bangsa Indonesia melalui pembaharuan Islam dan pendidikan, maka Pemerintah Republik Indonesia menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional dengan surat Keputusan Presiden no. 657 tahun 1961. Kisah hidup dan perjuangan Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadyah diangkat ke layar lebar dengan judul Sang Pencerah karya sutradara Hanung Bramantio. Film ini bercerita tentang perjuangan dan semangat patriotisme anak muda dalam merepresentasikan pemikiran-pemikirannya yang dianggap bertentangan dengan pemahaman agama dan budaya pada masa itu, dengan latar belakang suasana Kebangkitan Nasional.
KH. Hamid Pasuruan
Kiai Hamid lahir pada
tahun 1333 H (bertepatan dengan 1914 atau 1915 M) di Lasem, Rembang, Jawa
Tengah. Tepatnya di dukuh Sumurkepel, desa Sumbergirang. Sebuah pedukuhan yang
terletak di tengah kota kecamatan Lasem. Begitu lahir, bayi itu diberi nama
Abdul Mu’thi. Itulah nama kecil beliau hingga remaja, sebelum berganti menjadi
AbdulHamid.
Abdul
Mu’thi kecil biasa dipanggil “Dul” saja. Tapi, seringkali panggilan ini
diplesetkan menjadi “Bedudul” karena kenakalannya.
Mu’thi
memang tumbuh sebagai anak yang lincah, extrovert, dan nakal. “Nakalnya luar
biasa,” tutur KH. Hasan Abdillah Glenmore, adik sepupu beliau. Tapi nakalnya
Mu’thi tidak seperti anak-anak sekarang: yang sampai mabuk-mabukan atau
melakukan perbuatan asusila. Nakalnya Mu’thi adalah kenakalan bocah yang masih
dalam batas wajar, tapi untuk ukuran anak seorang kiai dipandang “luar biasa”.
Sebab, sehari-hari dia jarang di rumah. Hobinya adalah bermain sepak bola dan
layang-layang. Beliau bisa disebut bolamania alias gila sepak bola, dan
ayahandanya tak bisa membendung hobi ini. Karena banyak bermain, ngajinya
otomatis kurang teratur walaupun bukan ditinggalkan sama sekali. Dia mengaji
kepada KH. Ma’shum (ayahanda KH. Ali Ma’shum Jogjakarta) dan KH. Baidhawi, dua
“pentolan” ulama Lasem.
Kini
Sulit Dicari Padanannya
Kiai
Hamid lahir pada tahun 1333 H (bertepatan dengan 1914 atau 1915 M) di Lasem,
Rembang, Jawa Tengah. Tepatnya di dukuh Sumurkepel, desa Sumbergirang. Sebuah
pedukuhan yang terletak di tengah kota kecamatan Lasem. Begitu lahir, bayi itu
diberi nama Abdul Mu’thi. Itulah nama kecil beliau hingga remaja, sebelum
berganti menjadi Abdul Hamid.
Abdul
Mu’thi kecil biasa dipanggil “Dul” saja. Tapi, seringkali panggilan ini
diplesetkan menjadi “Bedudul” karena kenakalannya.
Mu’thi
memang tumbuh sebagai anak yang lincah, extrovert, dan nakal. “Nakalnya luar
biasa,” tutur KH. Hasan Abdillah Glenmore, adik sepupu beliau. Tapi nakalnya
Mu’thi tidak seperti anak-anak sekarang: yang sampai mabuk-mabukan atau
melakukan perbuatan asusila. Nakalnya Mu’thi adalah kenakalan bocah yang masih
dalam batas wajar, tapi untuk ukuran anak seorang kiai dipandang “luar biasa”.
Sebab, sehari-hari dia jarang di rumah. Hobinya adalah bermain sepak bola dan
layang-layang. Beliau bisa disebut bolamania alias gila sepak bola, dan
ayahandanya tak bisa membendung hobi ini. Karena banyak bermain, ngajinya
otomatis kurang teratur walaupun bukan ditinggalkan sama sekali. Dia mengaji
kepada KH. Ma’shum (ayahanda KH. Ali Ma’shum Jogjakarta) dan KH. Baidhawi, dua
“pentolan” ulama Lasem.
Ketika
mulai beranjak remaja (ABG), dia mulai gemar belajar kanoragan (semacam ilmu
kesaktian). Belajarnya cukup intensif sehingga mencapai taraf ilmu yang cukup
tinggi. “Sampai bisa menangkap babi jadi-jadian,” tutur KH. Zaki Ubaid
Pasuruan.
Meski
begitu, sejak kecil ia sudah menunjukkan tanda-tanda bakal menjadi wali atau,
setidaknya, orang besar. Ketika diajak kakeknya, KH. Muhammad Shiddiq (Jember),
pergi haji, Mu’thi bertemu dengan Rasulullah s.a.w. Pada saat haji itulah
namanya diganti menjadi Abdul Hamid.
Dipondokkan
Pada
usia sekitar 12-13 tahun, Hamid dikirim ayahandanya, K.H. Abdullah Umar, ke
Pondok Kasingan, Rembang. Maksud ayahandanya, untuk meredam kenakalannya. Dia
tidak lama di pondok ini. Satu atau satu setengah tahun kemudian dia pindah ke
Pondok Tremas, Pacitan. Pondok pimpinan KH. Dimyathi ini cukup besar dan
berwibawa. Dari pondok ini terlahir banyak kiai besar. Di antaranya adalah KH.
Ali Ma’shum Jogjakarta (mantan rais am PB NU), KH. Masduqi Lasem, KH. Abdul
Ghofur Pasuruan, KH. Harun Banyuwangi, dan masih banyak lagi.
Walaupun
kegemarannya bermain sepak bola masih berlanjut, di pesantren ini beliau mulai
mendapat gemblengan ilmu yang sebenarnya. Uang kiriman orangtua yang hanya
cukup untuk dipakai makan nasi thiwul tidak membuatnya patah arang. Dia tetap
betah tinggal di sana sampai 12 tahun, hingga mencapai taraf keilmuan yang
tinggi di berbagai bidang.
Tidak
Suka Dipuja
Setelah
12 tahun belajar agama di Pondok Tremas, tokoh kita itu dipinang oleh
pamandanya, KH. Achmad Qusyairi, untuk dikawinkan dengan putrinya, Nafisah.
Konon, Kiai Achmad pernah menerima pesan dari ayahandanya, KH. Muhammad Shiddiq, supaya mengambil Hamid sebagai menantu mengingat keistimewaan-keistimewaan yang tampak pada pemuda tersebut. Antara lain, saat pergi haji dulu, dia bisa berjumpa dengan Rasulullah s.a.w. Sayang, sang kakek tak sempat melihat pernikahan itu karena lebih dulu dipanggil Sang Mahakuasa.
Konon, Kiai Achmad pernah menerima pesan dari ayahandanya, KH. Muhammad Shiddiq, supaya mengambil Hamid sebagai menantu mengingat keistimewaan-keistimewaan yang tampak pada pemuda tersebut. Antara lain, saat pergi haji dulu, dia bisa berjumpa dengan Rasulullah s.a.w. Sayang, sang kakek tak sempat melihat pernikahan itu karena lebih dulu dipanggil Sang Mahakuasa.
Seperti
disebut dalam surat undangan, akad nikah akan dilangsungkan pada 12 September
1940 M, bertepatan dengan 9 Sya’ban 1359 H, selepas zhuhur pukul 1 di Masjid
Jami’ (sekarang Masjid Agung Al-Anwar) Pasuruan. Namun, rencana tinggal
rencana. Pada waktu yang ditentukan, para undangan sudah berkumpul di Masjid
Jami’, namun rombongan penganten pria tak kunjung muncul hingga jam menunjuk
pukul 2. Terpaksa acara melompat ke sesi berikutnya, yaitu walimah di rumah
Kiai Achmad Qusyairi di Kebonsari, di kompleks Pesantren Salafiyah.
Di
sana kembali orang-orang dibuat menunggu. Ternyata, rombongan penganten pria baru
datang sore hari, setelah acara walimah rampung dan para undangan pulang semua.
“Anu, penganten kuajak mampir ke makam (para wali),” kata Kiai Ma’shum, yang
dipercaya menjadi kepala rombongan. Apa boleh buat, akad nikah pun
dilangsungkan tanpa kehadiran undangan, dan hanya disaksikan para handai tolan.
Sejak
itu, Haji Abdul Hamid tinggal di rumah mertuanya. Lima atau enam tahun
kemudian, Kiai Achmad pindah ke Jember, lalu pindah ke Glenmore, Banyuwangi.
Tinggallah kini Kiai Hamid bersama istrinya harus berjuang secara mandiri
mengarungi samudera kehidupan dalam biduk rumah tangga yang baru mereka bina.
Untuk menghidupi diri dan keluarga, Kiai Hamid berusaha apa saja. Dari jual
beli sepeda, berdagang kelapa dan kedelai sampai menyewa sawah dan berdagang
spare part dokar.
Prihatin
Hari-hari
mereka adalah hari-hari penuh keprihatinan. Makan nasi dengan krupuk atau tempe
panggang sudah menjadi kebiasaan sehari-hari. Terkadang, sarung yang sudah
menerawang (karena usang) masih dipakai (dengan dilapisi kain serban supaya
warna kulitnya tidak kelihatan). Tapi, Kiai Hamid tak kenal putus asa, terus
berusaha dan berusaha.
Kala
itu beliau belum terlibat dalam kegiatan Pesantren Salafiyah, meski tinggal di
kompleks pesantren. Di tengah hidup prihatin itu, beliau mulai punya santri —
dua orang — yang ditempatkan di sebuah gubuk di halaman rumah. Beliau juga
mulai menggelar pengajian di berbagai desa di kabupaten Pasuruan: Rejoso,
Ranggeh dan lain-lain.
Sekitar
1951, sepeninggal KH. Abdullah ibn Yasin yang jadi nazhir (pengasuh) Pondok
Salafiyah, beliau dipercaya sebagai guru besar pondok, sementara KH. Aqib
Yasin, adik Kiai Abdullah, menjadi nazhir. Meski demikian, secara de facto,
beliaulah yang memangku pondok itu, mengurusi segala tetek bengek sehari-hari,
day to day karena Kiai Aqib yang muda itu, masih belajar di Lasem.
Fenomenal
Kiai
Hamid benar-benar berangkat dari titik nol dalam membina Pondok Salafiyah.
Sebab, saat itu tidak ada santri. Para santri sebelumnya tidak tahan dengan
disiplin tinggi yang diterapkan Kiai Abdullah.
Walaupun
tak ada promosi, satu demi satu santri mulai berdatangan. Prosesnya sungguh
natural, tanpa rekayasa. Perkembangannya memang tidak bisa dibilang melesat
cepat, tapi gerak itu pasti. Terus bergerak dan bergerak hingga kamar-kamar
yang ada tidak mencukupi untuk para santri dan harus dibangun yang baru; hingga
jumlah santrinya mencapai ratusan orang, memenuhi ruang-ruang pondok yang
lahannya tak bisa diperluas lagi karena terhimpit rumah-rumah penduduk; hingga
pada akhirnya, terdorong oleh perkembangan zaman, fasilitas baru pun perlu
disediakan, yaitu madrasah klasikal.
Perkembangan
fenomenal terjadi pada pribadi beliau. Dari semula hanya dipanggil “haji” lalu
diakui sebagai “kiai”, pengakuan masyarakat semakin membesar dan membesar.
Tamunya semakin lama semakin banyak. Terutama setelah wafatnya Habib Ja’far
As-Segaf (wali terkemuka Pasuruan waktu itu yang jadi guru spiritualnya)
sekitar 1954, sinarnya semakin membesar dan membesar. Kiai Hamid sendiri mulai
diakui sebagai wali beberapa tahun kemudian, sekitar awal 1960-an. Pengakuan
akan kewalian itu kian meluas dan meluas, hingga akhirnya mencapai taraf —
meminjam istilah Gus Mus — “muttafaq ‘alaih” (disepakati semua orang, termasuk
di kalangan mereka yang selama ini tak mudah mengakui kewalian seseorang).
Lurus
Ketika
Kiai Hamid mulai berkiprah di Pasuruan, tak sedikit orang yang merasa
tersaingi. Terutama ketika beliau menggelar pengajian di kampung-kampung.
Maklumlah, beliau seorang pendatang. Ada kiai setempat yang menuduh beliau
mencari pengaruh, dan menggerogoti santri mereka. Padahal, Kiai Hamid mengajar
di sana atas permintaan penduduk setempat.
Ibarat
kata pepatah Jawa “Becik ketitik, ala ketara”, lambat laun beliau dapat
menghapus kesan itu. Bukan dengan rekayasa atau “politik pencitraan” yang
canggih, melainkan dengan perbuatan nyata. Dengan tetap berjalan lurus, dan
terutama dengan sikap tawadhu’, kehadiran beliau akhirnya dapat diterima
sepenuhnya. Bahkan mereka menaruh hormat pada beliau justru karena sikap
tawadhu’ itu.
Beliau
memang rendah hati (tawadhu’). Kalau menghadiri suatu acara, beliau memilih
duduk di tempat “orang-orang biasa”, yaitu di belakang, bukan di depan. “Kiai
Hamid selalu ndepis (menyembunyikan diri) di pojok,” kata Kiai Hasan Abdillah.
Hormat
Beliau
bersikap hormat pada siapapun. Dari yang miskin sampai yang kaya, dari yang
jelata sampai yang berpangkat, semua dilayaninya, semua dihargainya. Misalnya,
bila sedang menghadapi banyak tamu, beliau memberikan perhatian pada mereka
semua. Mereka ditanyai satu per satu sehingga tak ada yang merasa disepelekan.
“Yang paling berkesan dari Kiai Hamid adalah akhlaknya: penghargaannya pada
orang, pada ilmu, pada orang alim, pada ulama. Juga tindak tanduknya,” kata
Mantan Menteri Agama, Prof. Dr. Mukti Ali, yang pernah menjadi junior sekaligus
anak didiknya di Pesantren Tremas.
Beliau
sangat menghormat pada ulama dan habaib. Di depan mereka, sikap beliau layaknya
sikap seorang santri kepada kiainya. Bila mereka bertandang ke rumahnya, beliau
sibuk melayani. Misalnya, ketika Sayid Muhammad ibn Alwi Al-Maliki, seorang
ulama kondang Mekah (yang baru saja wafat), bertamu, beliau sendiri yang
mengambilkan suguhan, lalu mengajaknya bercakap sambil memijatinya. Padahal
tamunya itu lebih muda usia.
Sikap
tawadhu’ itulah, antara lain, rahasia “keberhasilan” beliau. Karena sikap ini
beliau bisa diterima oleh berbagai kalangan, dari orang biasa sampai tokoh.
Para kiai tidak merasa tersaingi, bahkan menaruh hormat ketika melihat sikap
tawadhu’ beliau yang tulus, yang tidak dibuat-buat. Derajat beliau pun
meningkat, baik di mata Allah maupun di mata manusia. Ini sesuai dengan sabda
Rasulullah s.a.w., “Barangsiapa bersikap tawadhu’, Allah akan mengangkatnya.”
Sabar
Beliau sangat penyabar, sementara pembawaan beliau halus sekali. Sebenarnya, di balik kehalusan itu tersimpan sikap keras dan temperamental. Hanya berkat riyadhah (latihan) yang panjang, beliau berhasil meredam sifat cepat marah itu dan menggantinya dengan sifat sabar luar biasa. Riyadhah telah memberi beliau kekuatan nan hebat untuk mengendalikan amarah.
Beliau sangat penyabar, sementara pembawaan beliau halus sekali. Sebenarnya, di balik kehalusan itu tersimpan sikap keras dan temperamental. Hanya berkat riyadhah (latihan) yang panjang, beliau berhasil meredam sifat cepat marah itu dan menggantinya dengan sifat sabar luar biasa. Riyadhah telah memberi beliau kekuatan nan hebat untuk mengendalikan amarah.
Beliau,
misalnya, dapat menahan amarah ketika disorongkan oleh seorang santri hingga
hampir terjatuh. Padahal, santri itu telah melanggar aturan pondok, yaitu tidak
tidur hingga lewat pukul 9 malam. Waktu itu hari sudah larut malam. Beliau
disorongkan karena dikira seorang santri. “Sudah malam, ayo tidur, jangan
sampai ketinggalan salat subuh berjamaah,” kata beliau dengan suara halus
sekali.
Beliau
juga tidak marah mendapati buah-buahan di kebun beliau habis dicuri para santri
dan ayam-ayam ternak beliau ludes dipotong mereka. “Pokoknya, barang-barang di
sini kalau ada yang mengambil (makan), berarti bukan rezeki kita,” kata beliau.
Pada saat-saat awal beliau memimpin Pondok Salafiyah, seorang tetangga sering melempari rumah beliau. Ketika tetangga itu punya hajat, beliau menyuruh seorang santri membawa beras dan daging ke rumah orang tersebut. Tentu saja orang itu kaget, dan sejak itu kapok, tidak mau mengulangi perbuatan usilnya tadi.
Pada saat-saat awal beliau memimpin Pondok Salafiyah, seorang tetangga sering melempari rumah beliau. Ketika tetangga itu punya hajat, beliau menyuruh seorang santri membawa beras dan daging ke rumah orang tersebut. Tentu saja orang itu kaget, dan sejak itu kapok, tidak mau mengulangi perbuatan usilnya tadi.
Beliau
juga tidak marah ketika seorang yang hasud mencuri daun pintu yang sudah
dipasang pada bangunan baru di pondok.
Penyakit
Hati
Melalui
riyadhah dan mujahadah (memerangi hawa nafsu) yang panjang, beliau telah
berhasil membersihkan hati beliau dari berbagai penyakit. Tidak hanya penyakit
takabur dan amarah, tapi juga penyakit lainnya. Beliau sudah berhasil menghalau
rasa iri dan dengki. Beliau sering mengarahkan orang untuk bertanya kepada kiai
lain mengenai masalah tertentu. “Sampeyan tanya saja kepada Kiai Ghofur, beliau
ahlinya,” kata beliau kepada seorang yang bertanya masalah fiqih. Beliau pernah
marah kepada rombongan tamu yang telah jauh-jauh datang ke tempat beliau, dan
mengabaikan kiai di kampung mereka. Beliau tak segan “memberikan” sejumlah
santrinya kepada KH. Abdur Rahman, yang tinggal di sebelah rumahnya, dan kepada
Ustaz Sholeh, keponakannya yang mengasuh Pondok Pesantren Hidayatus Salafiyah.
Bergunjing
Menghilangkan
rasa takabur memang sangat sulit. Terutama bagi orang yang memiliki kelebihan
ilmu dan pengaruh. Ada yang tak kalah sulitnya untuk dihapus, yaitu kebiasaan
menggunjing orang lain. Bahkan para kiai yang memiliki derajat tinggi pun
umumnya tak lepas dari penyakit ini. Apakah menggunjing kiai saingannya atau
orang lain. Kiai Hamid, menurut pengakuan banyak pihak, tak pernah melakukan
hal ini. Kalau ada orang yang hendak bergunjing di depan beliau, beliau
menyingkir. Sampai KH. Ali Ma’shum berkata, “Wali itu ya Kiai Hamid itulah.
Beliau tidak mau menggunjing (ngrasani) orang lain.”
Manusia
Biasa
Kiai
Hamid, seperti para wali lainnya, adalah tiang penyangga masyarakatnya. Tidak
hanya di Pasuruan tapi juga di tempat-tempat lain. Beliau adalah sokoguru
moralitas masyarakatnya. Beliau adalah cermin (untuk melihat borok-borok diri),
beliau adalah teladan, beliau adalah panutan. Beliau dipuja, di mana-mana
dirubung orang, ke mana-mana dikejar orang (walaupun beliau sendiri tidak suka,
bahkan marah kalau ada yang mengkultuskan beliau).
Bagaimanapun
beliau manusia biasa (Rasulullah pun manusia biasa), yang harus merasakan kematian.
Sabtu 9 Rabiul Awal 1403 H, bertepatan dengan 25 Desember 1982 M, menjadi awal
berkabung panjang bagi msyarakat muslim Pasuruan, dan muslim di tempat lain.
Hari itu, saat ayam belum berkokok, hujan tangis memecah kesunyian di rumah
dalam kompleks Pesantren Salafiyah. Setelah jatuh anfal beberapa hari
sebelumnya dan sempat dirawat di Rumah Sakit Islam (RSI) Surabaya karena
penyakit jantung yang akut, beliau menghembuskan nafas terakhir. Inna lillahi
wa inna lillahi raji’un.
Umat
pun menangis. Pasuruan seakan terhenti, bisu, oleh duka yang dalam. Puluhan,
bahkan ratusan ribu orang berduyun-duyun membanjiri Pasuruan. Memenuhi
relung-relung Masjid Agung Al-Anwar dan alun-alun kota, memadati gang-gang dan
ruas-ruas jalan yang membentang di depannya. Mereka, dalam gerak serentak, di
bawah komando seorang imam, KH. Ali Ma’shum Jogjakarta, mengangkat tangan
“Allahu Akbar” empat kali dalam salat janazah yang kolosal. Allahumma ighfir
lahu warhamhu, ya Allah ampunilah dosanya dan rahmatilah dia.
Hamid
Ahmad
sumber
: Salafiyah.org
KH. Utsman Al Ishaqi
Bagi murid-murid atau pengikut Thariqah Qadiriyah Wan Naqsabandiyah, figur Kyai Utsman tidak asing lagi. Karena di samping beliau sebagai mursyidnya, juga penyusun silsilah thariqah yang paling banyak pengikutnya ini.
Lahir di Surabaya pada bulan Jumadil Akhir 1334 H setelah bertapa selama 16 bulan dalam rahim ibu, beliau memiliki silsilah keturunan hingga Rasulullah SAW yang ke 37, Kiyai Utsman lebih banyak masa kecilnya dihabiskan untuk belajar dan mengaji ke beberapa guru di lingkungan beliau lahir. Tak heran jika pada usia 7 tahun Kiyai Utsman kecil telah 3 kali khatam Al Qur’an. Nasab beliau
Muhammad Utsman – Surati – Abdullah – Mbah Deso – Mbah Jarangan – Ki Ageng Mas – Ki Panembahan Bagus – Ki Ageng Pangeran Sedeng Rana – Panembahan Agung Sido Mergi – Pangeran Kawis Guo – Fadlullah Sido Sunan Prapen – Ali Sumodiro – Muhammad Ainul Yaqin Sunan Giri – Maulana Ishaq – Ibrahim Al Akbar – Ali Nurul Alam – Barokat Zainul Alam – Jamaluddin Al Akbar Al Husain – Ahmad Syah Jalalul Amri – Abdullah Khan – Abdul Malik – Alawi – Muhammad Shohib Mirbath – Ali Kholi’ Qasam – Alawi – Muhammad – Alawi – Ubaidillah – Ahmad Al Muhajir – Isa An Naqib Ar Rumi – Muhammad An Naqib – Ali Al Uraidli – Ja’far As Shodiq – Muhammad Al Baqir – Ali Zainal Abidin – Hussain Bin Ali – Ali Bin Abi Thalib / Fathimah Binti Rasulullah SAW.
Pesantren yang pertama kali disinggahi untuk menuntut ilmu ialah pesantren yang diasuh oleh Kyai Khozin Siwalan Panji. Tidak lama kemudian beliau pindah ke pesantren yang diasuh Kyai Munir Jambu Madura. Selanjutnya oleh kedua orang tuanya, Kyai Utsman dipondokkan di pesantren Tebuireng Jombang asuhan KH. Hasyim Asy’ari dan akhirnya Kyai Utsman memantapkan hatinya untuk memperdalam ilmunya di pesantren Rejoso Peterongan Jombang yang diasuh oleh Kyai Romly At Tamimi.
Mengenal thariqah
Perjalanan Kiyai Utsman dalam
mencari ilmu diwarnai dengan berbagai lelaku. Tidak saja dalam hal makanan dan
minuman saja yang harus dihindari. Akan tetapi juga dalam hal memperbanyak
waktu untuk tidurpun juga harus dijalani. Dalam hal tirakat, Yai Utsman tidak
pernah pulang ke rumah selama mondok, kecuali badannya sudah kurus benar. Sebab
jika pulang dalam keadaan badan gemuk, dapat dipastikan kedua orang tuanya akan
marah besar. Jika hal ini terjadi, berarti selama mondok dianggap aktifitasnya
hanya makan dan minum saja, bukan mencari ilmu.
Setelah cukup waktu nyantri di Kiyai Romly, Kiyai Utsman dibai’at oleh Kiyai Romly sebagi murid thariqah Qadiriyah Wan Naqsabandiyah dan sekaligus mendapat tugas dari kyainya untuk menyusun silsilah thariqah Qadiriyah Wan Naqsabandiyah yang terhimpun dalam kitab Tsamrotul Fikriyah.
Konon, KH. Utsman adalah salah satu murid kesayangan KH. Romli Tamim (ayah KH. Musta’in) Rejoso, Jombang, Jawa Timur. Beliau dibaiat sebagai mursyid bersama Kyai Makki Karangkates Kediri dan Kiai Bahri asal Mojokerto. Kemudian sepeninggal Kiai Musta’in (sekitar tahun 1977), beliau mengadakan kegiatan sendiri di kediamannya Sawah Pulo Surabaya.
Kyai Utsman mengembangkan tarekat
di Kedinding Lor Surabaya. Penerusnya Kyai Ahmad Asrori. Dikembangkan kegiatan
khushushiyah setiap Ahad pertama bulan Hijriyah di Jatipurwo dan Ahad kedua di
Kedinding Lor. Pengikut kegiatan bisa mencapai rata-rata 4.000 orang (lebih
banyak dari Rejoso dan Cukir yang pada saat itu berjumlah rata-rata 1.000
orang).Dalam perkembangannya penerus Tarekat Kedinding Lor, Kyai Hilmi Ahmad,
mengemukakan sikap pendirinya, bahwa tarekatnya netral, tidak memihak salah
satu organisasi sosial politik manapun. Alasannya, kegiatan tarekat untuk
ibadah, dzikir kepada Allah, taqarrub kepada Allah.
“Hai orang-orang beriman apabila
kamu dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah dalam majlis”, Maka lapangkanlah
niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan:
“Berdirilah kamu”, Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang
yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa
derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”. QS. Al Mujaadalah
{58] : 11
Babak kehidupan baru pun dimulai,
setelah dirasa cukup dalam menimba ilmu dan telah menjadi salah satu murid thariqah,
Kyai Utsman pulang kampung untuk mengamalkan berbagai disiplin ilmu yang telah
dimilikinya. Akan tetapi meski telah berada di lingkungan keluarga, Kyai Utsman
masih secara rutin hadir ke Kyai Romly untuk mengikuti majelis khususi dengan
cara berjalan kaki, kadang juga naik kendaraan dan itu dilakukan selama empat
tahun. Selanjutnya atas saran KH. Hasyim Asy’ari, Kiyai Utsman beserta keluarga
pindah sementara ke Peterongan agar lebih dekat dengan gurunya.
Diba’iat menjadi mursyid
Diba’iat menjadi mursyid
Dalam pandangan Kiyai Romly,
Kiyai Utsman selama mondok dan sebagai murid Thariqah, memiliki keistimewaan
dan kekhususan yang tidak dimiliki oleh santri lainnya. Seperti ketika Kiai
Utsman berusia 13 tahun memiliki kemampuan melihat Ka’bah di Makkah tanpa harus
datang ke Masjidil Haram. Juga kemampuannya melihat kepribadian seseorang
menyerupai serigala, dan hewan sejenis tergantung nafsunya masing-masing.
Termasuk selama mondok di Rejoso ini Kiyai Utsman sering dijumpai oleh Nabi
Khidir as.
Kyai Romly berpendapat bahwa
untuk untuk meneruskan ajaran thariqah Qadiriyah Wan Naqsabandiyah, diperlukan
estafet kepemimpinan thariqah dalam hal ini diperlukan seorang mursyid (guru)
baru. Ini dimaksudkan agar ajaran thariqah tetap langgeng sampai kiamat nanti.
Diantara sekian murid (santri) yang menurut pandangan Kyai Romly memiliki
kemampuan sebagai mursyid thariqah ialah Kyai Utsman.
Maka pada suatu hari tepatnya jam
2 dini hari Kyai Utsman diminta menghadap Kyai Romly untuk diangkat menjadi
Mursyid Thariqah Qadiriyah Wan Naqsabandiyah. Ketika Kyai Romly melaksanakan
perintah Allah dengan cara mengusapkan tangannya di atas kepala Kyai Utsman,
maka seketika itu pula Kyai Utsman pingsan tidak sadarkan diri selama satu
minggu, selama itu pula beliau tidak makan tidak minum tidak tidur tidak mandi
tidak buang air besar maupun kecil juga tidak sholat.
Setelah resmi menjadi mursyid, Kyai Utsman atas saran Kyai Romly diminta tinggal di Desa Ngelunggih tidak jauh dari Rejoso. Tidak beberapa lama kemudian Kyai Utsman pindah ke dekat gunung Lawu Ngawi untuk menyebarkan ajaran agama Islam. Ketika ada peristiwa Madiun, banyak yang menyarankan agar Kyai Utsman pulang kampung di Surabaya. Meski masyarakat dimana beliau tinggal banyak yang keberatan, bahkan jika Kyai Utsman mau tetap tinggal di Ngawi, ada sebagian masyarakat berkenan menghibahkan tanah seluas 20 ha. Akan tetapi Kyai Utsman tetap memilih kembali ke Surabaya.
Istiqomah dalam perilaku
Setelah resmi menjadi mursyid, Kyai Utsman atas saran Kyai Romly diminta tinggal di Desa Ngelunggih tidak jauh dari Rejoso. Tidak beberapa lama kemudian Kyai Utsman pindah ke dekat gunung Lawu Ngawi untuk menyebarkan ajaran agama Islam. Ketika ada peristiwa Madiun, banyak yang menyarankan agar Kyai Utsman pulang kampung di Surabaya. Meski masyarakat dimana beliau tinggal banyak yang keberatan, bahkan jika Kyai Utsman mau tetap tinggal di Ngawi, ada sebagian masyarakat berkenan menghibahkan tanah seluas 20 ha. Akan tetapi Kyai Utsman tetap memilih kembali ke Surabaya.
Istiqomah dalam perilaku
Kyai Utsman sejak kecil hingga
akan pulang ke rahmatullah selalu istiqomah dalam perilaku. Perbuatan serta
ucapan-ucapannya selalu meniru Rasulullah. Semua menyaksikan bahwa seluruh
waktunya hanyalah untuk mengabdi kepada Allah. Maka pantaslah jika kemudian
Kiyai Romly memilih Kiyai Utsman sebagai kholifahnya. Dalam hal ini Kiyai Romly
pernah bermimpi bahwa di Surabaya terdapat sebuah pabrik besar yang terus
menerus berproduksi di bawah pimpinan Kiyai Utsman, itulah thariqah Qadiriyah
Wan Naqsabadiyah yang beliau asuh.
Karena saking cintanya kepada Syech Abdul Qadir Al Jailani ra. Kiyai Utsman kemudian merintis penyelenggaraan manaqiban dengan cara membaca sejarah singkat Syech Abdul Qadir Al Jailani ra seorang ulama besar asal Timur Tengah. Kegiatan yang merupakan rintisan ini ternyata mendapat sambutan yang cukup baik dari Kiyai Romly Rejoso dan akhirnya Kiyai Romly menyetujui dan meminta untuk diteruskan (dilanggengkan).
Salah satu kegemaran Kyai Utsman
ialah melakukan ziarah ke wali wali Allah baik yang masih hidup maupun yang
sudah mati. Bahkan karena dekatnya hubungan beliau dengan para wali Allah, Kyai
Utsman menyemarakkan peringatan hari wafat mereka, terutama wafatnya Syech
Abdul Qadir Al Jailani ra. sehingga tiada terlewatkan setiap harinya di kota
maupun di desa di Jawa Timur untuk senantiasa menggelar manaqib.
Setelah Kiyai Utsman mendapat
kepercayaan dari kiyai Romly sebagai kholifah (mursyid thariqah), beliau di
rumah Jatipurwo menggelar acara manaqiban selama 4 tahun yang hanya diikuti
oleh 7 orang. Di tengah tengah memimpin istighotsah, Kiyai Utsman .didatangi
oleh seseorang yang tidak dikenal, kemudian menelentangkan Kiyai Utsman dengan
sebilah pedang di leher kiyai. Peristiwa tragis ini kemudian disampaikan ke
Kiyai Romly, dan beliau hanya menjawab “teruskan apa yang telah kamu amalkan,
pasti orang itu tidak berani lagi mengulangi perbuatan yang sama”. Apa yang
yang disampaikan oleh Kiyai Romly benar benar terjadi, bukannya orang tersebut
mengulangi lagi perbuatan yang sama, akan tetapi malah menjadi pengikut Kiyai
Utsman yang setia.
Beberapa karomah yang dimiliki Kyai Utsman
KH. Ahmad Asrori Al ishaqi (salah
satu putra Kiyai Utsman) menceritakan, ketika ayahnda berusia 13 tahun
mempunyai kemampuan melihat ka’bah secara nyata dari rumahnya Jatipurwo
Surabaya. Beliau menganggap, apa yang dilihatnya merupakan mimpi, tapi setelah
berkali kali matanya diusap, bahwa apa yang dia lihat bukan sekedar mimpi, akan
tetapi benar benar terjadi dan yang tampak hanyalah ka’bah di Makkah. Kemudian
Kyai Utsman minta dibelikan kaca mata, beliau mengira bahwa matanya sudah
rusak. Setelah dibelikan dan dipakai, ternyata hasilnya sama saja. Menurut Kyai
Asrori, itulah awal kasyaf yang dialami ayahndanya dan sejak saat itu Kyai
Utsman bisa melihat orang dengan segala kepribadiannya. Ada yang menyerupai
serigala, ada yang seperti ayam dan kucing tergantung pembawaan nafsu
masing-masing. Akan tetapi Kyai Utsman tidak berani mengatakan terus terang,
karena hal itu menyangkut kerahasiaan seseorang.
Pada saat bermukim di lereng
gunung dekat Ngawi, Kyai Utsman pernah bermimpi ketemu Kyai Hasyim Asy’ari
Tebuireng dan berpamitan dengan Kyai Utsman dengan mengatakan “saya duluan
Utsman !” ternyata pada esok harinya beliau mendengar berita bahwa Kiyai Hasyim
Asy’ari meninggal dunia (pulang kerahmatullah).
Kyai Muhammad Faqih Langitan
Tuban pernah mengatakan bahwa Kyai Zubeir Sarang Rembang bermimpi ketemu
Rasulullah SAW sedang menemui 2 orang laki laki dan Rasulullah menyatakan
kepada Kyai Zubeir “keluargaku banyak tersebar di tanah Jawa diantaranya ialah
Romly dan Utsman”.
Salah seorang sopir Kyai Utsman pernah mengatakan, dalam perjalanan dari Rejoso menuju Surabaya, tiba tiba mobil yang dikendaraai Kyai Utsman bensinnya habis. Padahal seluruh uang sakunya telah diserahkan ke pondok. Kemudian Kyai memerintahkan kepada sopirnya “begini saja, tangki mobil diisi dengan air teh tanpa gula secukupnya” karena sopir itu percaya dengan kyai, maka perintah itu dilaksanakan dengan sepenuh hati. Kemudian yai menanyakan “sudah kau isi bensin ?” jawab sopir “mobil kami isi dengan teh sesuai dawuh yai” yai pun segera mengajak pulang ke Surabaya. Dan alhamdulillah mobil bisa berjalan ke Surabaya dengan bahan bakar teh.
Salah seorang sopir Kyai Utsman pernah mengatakan, dalam perjalanan dari Rejoso menuju Surabaya, tiba tiba mobil yang dikendaraai Kyai Utsman bensinnya habis. Padahal seluruh uang sakunya telah diserahkan ke pondok. Kemudian Kyai memerintahkan kepada sopirnya “begini saja, tangki mobil diisi dengan air teh tanpa gula secukupnya” karena sopir itu percaya dengan kyai, maka perintah itu dilaksanakan dengan sepenuh hati. Kemudian yai menanyakan “sudah kau isi bensin ?” jawab sopir “mobil kami isi dengan teh sesuai dawuh yai” yai pun segera mengajak pulang ke Surabaya. Dan alhamdulillah mobil bisa berjalan ke Surabaya dengan bahan bakar teh.
Demikian sepenggal biografi ulama
besar KH. Utsman Al Ishaqi asal Jatipurwo Surabaya, yang kemudian nama beliau
terpatri dalam nama Thariqah Qadiriyah Wan Naqsabandiyah Al Utsmaniyah.
Sepeninggal Kyai Usman, tongkat estafet mursyid Thariqah Qadiriyah Wan
Naqsabandiyah Al Utsmaniyah diberikan kepada salah satu putranya yakni KH.
Ahmad Asrori Al Ishaqi. Pengalihan tugas itu berdasarkan wasiat Kyai Utsman
menjelang wafatnya. Kini dibawah kendali Kiyai Asori murid murid thariqah
Qadiriyah Wan Naqsabandiyah Al Utsmaniyah telah tersebar ke seluruh pelosok
tanah air, bahkan hingga manca negara dan timur tengah. Semoga biografi Kiyai
Utsman dapat diambil ibrahnya untuk pegangan hidup kita dalam beribadah
dalam mencapai kebahagiaan dunia dan
akherat. Amien Allahumma amin !!!
Sumber :http://tasawuf.blog.com
Sumber :http://tasawuf.blog.com
Biografi KH Hamim Tohari Djazuli (Gus Miek) Ploso Mojo Kediri
Biografi KH Hamim Djazuli © KH. Hamim Tohari Djazuli atau akrab dengan panggilan Gus Miek lahir pada 17 Agustus 1940,beliau adalah putra KH. Jazuli Utsman (seorang ulama sufi dan ahli tarikat pendiri pon-pes Al Falah mojo Kediri), Gus Miek salah-satu tokoh Nahdlatul Ulama (NU) dan pejuang Islam yang masyhur di tanah Jawa dan memiliki ikatan darah kuat dengan berbagai tokoh Islam ternama, khususnya di Jawa Timur. Maka wajar, jika Gus Miek dikatakan pejuang agama yang tangguh dan memiliki kemampuan yang terkadang sulit dijangkau akal. Selain menjadi pejuang Islam yang gigih, dan pengikut hukum agama yang setia dan patuh, Gus Miek memiliki spritualitas atau derajat kerohanian yang memperkaya sikap, taat, dan patuh terhadap Tuhan. Namun, Gus Miek tidak melupakan kepentingan manusia atau intraksi sosial (hablum minallah wa hablum minannas). Hal itu dilakukan karena Gus Miek mempunyai hubungan dan pergaulan yang erat dengan (alm) KH. Hamid Pasuruan, dan KH. Achmad Siddiq, serta melalui keterikatannya pada ritual ”dzikrul ghafilin” (pengingat mereka yang lupa). Gerakan-gerakan spritual Gus Miek inilah, telah menjadi budaya di kalangan Nahdliyin (sebutan untuk warga NU), seperti melakukan ziarah ke makam-makam para wali yang ada di Jawa maupun di luar Jawa. Hal terpenting lain untuk diketahui juga bahwa amalan Gus Miek sangatlah sederhana dalam praktiknya. Juga sangat sederhana dalam menjanjikan apa yang hendak didapat oleh para pengamalnya, yakni berkumpul dengan para wali dan orang-orang saleh, baik di dunia maupun akhirat.
Ayah Gus Miek KH.Achmad Djazuli Usman
Gus Miek seorang hafizh (penghapal) Al-Quran. Karena, bagi Gus Miek, Al-Quran adalah tempat mengadukan segala permasalahan hidupnya yang tidak bisa dimengerti orang lain. Dengan mendengarkan dan membaca Al-Quran, Gus Miek merasakan ketenangan dan tampak dirinya berdialog dengan Tuhan, beliaupun membentuk sema’an alquran dan jama’ah Dzikrul Ghofilin.
Gus Miek selain dikenal sebagai seorang ulama besar juga dikenal sebagai orang yang nyeleneh, beliau lebih menyukai da’wah di kerumunan orang yang melakukan maksiat seperti diskotik, club malam dibandingkan dengan menjadi seorang kyai yang tinggal di pesantren yang mengajarkan santrinya kitab kuning. hampir tiap malam beliau menyusuri jalan-jalan di Jawa Timur keluar masuk club malam, bahkan nimbrung dengan tukang becak, penjual kopi di pinggiran jalan hanya untuk memberikan sedikit pencerahan kepada mereka yang sedang dalam kegelapan. Ajaran-ajaran beliau yang terkenal adalah suluk jalan terabas atau dalam bahasa indonesia-nya pemikiran jalan pintas.
Pernah diceritakan Suatu ketika Gus Miek pergi ke diskotik dan di sana bertemu dengan Pengunjung yang sedang asyik menenggak minuman keras, Gus Miek menghampiri mereka dan mengambil sebotol minuman keras lalu memasukkannya ke mulut Gus Miek salah satu dari mereka mengenali Gus Miek dan bertanya kepada Gus Miek. ”Gus kenapa sampeyan ikut Minum bersama kami ? sampeyankan tahu ini minuman keras yang diharamkan oleh Agama ?” lalu Gus Miek Menjawab “aku tidak meminumnya …..!! aku hanya membuang minuman itu kelaut…!” hal ini membuat mereka bertanya-tanya, padahal sudah jelas tadi Gus Miek meminum minuman keras tersebut. Diliputi rasa keanehan, Gus miek angkat bicara “sampeyan semua ga percaya kalo aku tidak meminumnya tapi membuangnya kelaut..?” lalu Gus Miek Membuka lebar Mulutnya dan mereka semua terperanjat kaget didalam Mulut Gus miek terlihat Laut yang bergelombang dan ternyata benar minuman keras tersebut dibuang kelaut. Dan Saat itu juga mereka diberi Hidayah Oleh Alloh SWt untuk bertaubat dan meninggalkan minum-minuman keras yang dilarang oleh agama. Itulah salah salah satu Karomah kewaliyan yang diberikan Alloh kepada Gus Miek.
Jika sedang jalan-jalan atau keluar, Gus Miek sering kali mengenakan celana jeans dan kaos oblong. Tidak lupa, beliau selalu mengenakan kaca mata hitam lantaran lantaran beliau sering menangis jika melihat seseorang yang “masa depannya” suram dan tak beruntung di akhirat kelak.
Ketika beliau berdakwah di Semarang tepatnya di NIAC di Pelabuhan Tanjung Mas. Niac adalah surga perjudian bagi para cukong-cukong besar baik dari pribumi maupun keturunan, Gus Miek yang masuk dengan segala kelebihannya mampu memenangi setiap permainan, sehingga para cukong-cukong itu mengalami kekalahan yang sangat besar. NIAC pun yang semula menjadi surga perjudian menjadi neraka yang sangat menakutkan bagi para penjudi dan penikmat maksiat.
Satu contoh lagi ketika Gus Miek berjalan-jalan ke Surabaya, ketika tiba di sebuah club malam Gus Miek masuk kedalam club yang di penuhi dengan perempuan-perempuan nakal, lalu Gus Miek langsung menuju waitres (pelayan minuman) beliau menepuk pundak perempuan tersebut sambil meniupkan asap rokok tepat di wajahnya, perempuan itu pun mundur tapi terus di kejar oleh Gus miek sambil tetap meniupkan asap rokok diwajah perempuan tersebut. Perempuan tersebut mundur hingga terbaring di kamar dengan penuh ketakutan, setelah kejadian tersebut perempuan itu tidak tampak lagi di club malam itu.
Pernah suatu ketika Gus Farid (anak KH.Ahamad Siddiq yang sering menemani Gus Miek) mengajukan pertanyaan yang sering mengganjal di hatinya, pertama bagaimana perasaan Gus Miek tentang Wanita ? “Aku setiap kali bertemu wanita walaupun secantik apapun dia dalam pandangan mataku yang terlihat hanya darah dan tulang saja jadi jalan untuk syahwat tidak ada” jawab Gus miek.
Pertanyaan kedua Gus Farid menayakan tentang kebiasaan Gus Miek memakai kaca mata hitam baik itu dijalan maupun saat bertemu dengan tamu…”Apabila aku bertemu orang dijalan atau tamu aku diberi pengetahuaan tentang perjalanan hidupnya sampai mati. Apabila aku bertemu dengan seseorang yang nasibnya buruk maka aku menangis, maka aku memakai kaca mata hitam agar orang tidak tahu bahwa aku sedang menagis“ jawab Gus Miek
Adanya sistem Dakwah yang dilakukan Gus miek tidak bisa di contoh begitu saja karena resikonya sangat berat bagi mereka yang Alim pun Sekaliber KH.Abdul Hamid (pasuruan) mengaku tidak sanggup melakukan da’wak seperti yang dilakukan oleh Gus Miek padahal Kh.Abdul Hamid juga seorang waliyalloh.
Gus Miek bertemu KH. Mas’ud (Mbah Ud Pagerwojo Sidoarjo)
Ketika Gus Miek masih berusia 9 tahun, Gus Miek sowan ke rumah Gus Ud (KH. Mas’ud) Pagerwojo, Sidoarjo. Gus Ud adalah seorang tokoh kharismatik yang diyakini sebagai seorang wali. Dia sering dikunjungi olah sejumlah ulama untuk meminta doanya. Di rumah Gus Ud inilah untuk pertama kalinya Gus Miek bertemu KH. Ahmad Siddiq, yang di kemudian hari menjadi orang kepercayaannya dan sekaligus besannya.
Saat itu, Kiai Ahmad Siddiq masih berusia 23 tahun, dan tengah menjadi sekretaris pribadi KH. Wahid Hasyim yang saat itu menjabat sebagai menteri agama. Sebagaimana para ulama yang berkunjung ke ndalem Gus Ud, kedatangan Kiai Ahmad Siddiq ke ndalem Gus Ud juga untuk mengharapkan do’a dan dibacakan Al-Fatehah untuk keselamatan dan kesuksesan hidupnya. Tetapi, Gus Ud menolak karena merasa ada yang lebih pantas membaca Al-Fatehan. Gus Ud kemudian menunjuk Gus Miek yang saat itu tengah berada di luar rumah. Gus Miek dengan terpaksa membacakan Al-Fatehah setelah diminta oleh Gus Ud.
KH. Ahmad Siddiq, sebelum dekat dengan Gus Miek, pernah menemui Gus Ud untuk bicara empat mata menanyakan tentang siapakah Gus Miek itu.
“Mbah, saya sowan karena ingin tahu Gus Miek itu siapa, kok banyak orang besar seperti KH. Hamid menghormatinya?” Tanya KH. Ahmad Siddiq.
“Di sekitar tahun 1950-an, kamu datang ke rumahku meminta do’a. Aku menyuruh seorang bocah untuk mendoakan kamu. Itulah Gus Miek. Jadi, siapa saja, termasuk kamu, bisa berkumpul dengan Gus Miek itu seperti mendapatkan Lailatul Qodar,” jawab Gus Ud.
Begitu Gus Ud selesai mengucapan kata Lailatul Qodar, Gus Miek tiba-tiba turun dari langit-langit kamar lalu duduk di antara keduanya. Sama sekali tidak terlihat bekas atap yang runtuh karena dilewati Gus Miek. Setelah mengucapkan salam, Gus Miek kembali menghilang.
Suatu hari, Gus Miek tiba di Jember bersama Syafi’i dan KH. Hamid Kajoran, mengendarai mobil Fiat 2300 milik Sekda Jember. Sehabis Ashar, Gus Miek mengajak pergi ke Sidoarjo. Rombongan bertambah Mulyadi dan Sunyoto. Tiba di Sidoarjo, Gus Miek mengajak istirahat di salah satu masjid. Gus Miek hanya duduk di tengah masjid, sementara KH. Hamid Kajoran dan Syafi’i tengah bersiap-siap menjalankan shalat jamak ta’khir (Magrib dan Isya).
Ketika Syafi’i iqomat, Gus Miek menyela, “Mbah, Mbah, shalatnya nanti saja di Ampel.” KH. Hamid dan Syafi’i pun tidak berani melanjudkan.
Tiba-tiba, dri sebuah gang terlihat seorang anak laki-laki keluar, sedang berjalan perlahan. Gus Miek memanggilnya.
“Mas, beri tahu Mbah Ud, ada Gus Hamim dari kediri,” kata Gus Miek kepada anak itu.
Anak itu lalu pergi ke rumah Mbah Ud. Tidak beberapa lama, Mbah Ud datang dengan dipapah dua orang santri.
“Masya Allah, Gus Hamim, sini ini Kauman ya, Gus. Kaumnya orang-orang beriman ya, Gus. Ini masjid Kauman, Gus. Anda doakan saya selamat ya, Gus,” teriak Mbah Ud sambil terus berjalan ke arah Gus Miek.
Ketika sudah dekat, Gus Miek dan Mbah Ud terlihat saling berebut untuk lebih dulu menyalami dan mencium tangan. Kemudian Gus Miek mengajak semuanya ke ruamah Mbah Ud. Tiba di rumah, Mbah Ud dan Gus Miek duduk bersila di atas kursi, kemudian dengan lantang keduanya menyanyikan shalawat dengan tabuhan tangan. Seperti orang kesurupan, keduanya terus bernyanyi dan memukul-mukul tangan dan kaki sebagai musik iringan. Setelah puas, keduanya terdiam. “Silakan, Gus, berdoa,” kata Mbah Ud kepada Gus Miek. Gus miek pun berdoa dan Mbah Ud mengamini sambil menangis.
Di sepanjang perjalanan menuju ruamah Syafi’i di Ampel, Sunyoto berbisik-bisik dengan Mulyadi. Keduanya penasaran dengan kejadian yang baru saja mereka alam. Karena Mbah Ud Pagerwojo terkenal sebagai wali dan khariqul ‘adah (di luar kebiasaan). Hampir semua orang di Jawa Timur segan terhadapnya. “Mas, misalnya ada seorang camat yang kedatangan tamu, lalu camat tersebut mengatakan silakan-silakan dengan penuh hormat, itu kalau menurut kepangkatan, bukankah tinggi pangkat tamunya?” Tanya Sunyoto kepada Mulyadi.
Mbah Ud adalah salah seorang tokoh di Jawa Timur yang sangat disegani dan dihormati Gus Miek selain KH. Hamid Pasuruan. Hampir pada setiap acara haulnya, Gus Miek selalu hadir sebagai wujud penghormatan kepada orang yang sangat dicintainya itu.
Kisah Gus Miek dan KH. Achmad Siddiq
Selain cerita sebagaimana yang telah diuraikan di muka dalam pembahasan Gus Ud Pagerwojo dan KH. Hamid Pasuruan, ada beberapa cerita yang berkaitan dengan KH. Ahmad Siddiq. KH. Ahmad Siddiq, yang kebetulan istrinya dari Tulungagung, bila berada di Tulungagung, dalam pidato-pidatonya juga selalu mnyerang Gus Miek sebagai seorang kiai yang kebiasaannya tidak sesuai dengan syari’at. Mungkin KH. Ahmad Siddiq lupa pada peristiwa 16 tahun sebelumnya saat dia sowan kepada Gus Ud, Pagerwojo, Sidoarjo, di mana secara tersirat Gus Ud menunjukkan bahwa Gus Miek adalah yang sulit diterima nalar biasa. Bahkan KH. Ahmad Siddiq sendiri oleh Gus Ud justru disuruh meminta doa Al-Fatehah kepada Gus Miek.
Bila mendengar semua itu, Gus Miek hanya tersenyum dan berkomentar: “Kiai ini berani. Sungguh kiai ini pemberani,” sambil tersenyum dan mengacungkan jempol. Kepada Amar Mujib (adik ipar KH. Ahmad Siddiq) Gus Miek berpesan: “Mar, apakah kamu hobi pidato? Kamu jangan suka pidato! Sebab, orang itu bila pidato, kalau hakikat-nya tidak kuat, akan berbahaya. Orang itu yang baik di dalam-nya, bukan luar-nya.”
KH. Ahmad Siddiq saat berada di Tulungagung pernah bertanya kepada: “Amar, jawablah dengan jujur, sejujur-jujurnya, dan jangan ada yang kau sembunyikan: benarkah Gus Miek itu bila menghadiri undangan perkawinan, selalu langsung menuju tempat kaum perempuan dan mengambil tempat berbaur bersama mereka?”
Amar yang sejak pertama sudah tahu bahwa KH. Ahmad Siddiq sangat anti dengan Gus Miek merasa terpanggil untuk membela Gus Miek.“Benar,” jawab Amar.
“Bukankah itu tidak pantas dilakukan oleh seorang kiai?” Tanya KH. Ahmad Siddiq.
”Lalu, mengapa kau masih mengikutinya dan memujanya!” Tanya KH. Ahmad Siddiq.
“Semua pendapat Mas Ahmad benar. Hanya saja Gus Miek pernah berkata kepada saya bahwa bila berdakwah di sebuah keluarga, kalau tidak bisa masuk dari pintu depan maka berusahalah masuk dari pintu belakang. Kalau tidak bisa kepada suaminya maka berdakwahlah kepada istrinya. Sehingga bila suaminya lalai menjalankan shalat karena malas atau kesibukan kerja, istri bisa mengingatkannya. Sebab yang paling dekat dengan suaminya dalam ibadah dan rumah tangga adalah istri. Bukan kiai, “jawab Amar.
KH. Ahmad Siddiq hanya diam merenungkan jawaban Amar Mujib. Amar Mujib pun diam di samping kakak iparnya. Sudah menjadi rahasia umum di kalangan pengikut Gus Miek bahwa setiap santri yang dekat dengan Gus Miek, seolah merasakan suatu kekuatan dan keberanian yang luar biasa dalam menghadapi siapa saja, termasuk tokoh besar.
Setiap berada di Tulungagung, KH. Ahmad Siddiq mencoba mencari tahu siapakah Gus Miek yang sebenarnya dari adik iparnya. Ini tentu saja sebuah proses pergolakan batin yang panjang dan berat bagi KH. Ahmad Siddiq. Di samping karena dahulunya dia sudah dikenal luas sangat memusuhi Gus Miek, juga karena harus merombak persepsinya tentang sosok wali yang selama ini dipahaminya dan diyakininya dari kitab ketika harus berhadapan dengan sosok kewalian Gus Miek.
Berikutnya, mulai timbul kegaluan di hati KH. Ahmad Siddiq. Hal ini terjadi karena Gus Miek membantu menyelesaikan persoalan anaknya, meski bukan karena keinginannya. Terlebih lagi dengan adanya pernyataan-pernyataan KH. Hamid Pasuruan (yang masih saudaranya) yang sangat menghormati dan mendukung Gus Miek, sebagaimana yang telah diceritakan di muka.
Setelah beberapa hari berlalu, KH. Ahmad Siddiq kembali menemui Amar Mujib.
“Amar, pertemukan aku dengan Gus Miek,” kata KH. Ahmad Siddiq.
“Untuk apa bertemu Gus Miek?” Tanya Amar curiga karena dia tidak ingin terjadi permasalahan antara KH. Ahamad Siddiq sebagai kakak iparnya dengan Gus Miek sebagai gurunya.
“Aku hanya ingin bertanya apakah yang telah aku pahami dari kitab-kitab dan aku jalankan selama ini sudah benar,” jawab KH. Ahmad Siddiq.
Beberapa hari kemudian, Amar bertemu Gus Miek dan menyampaikan permintaan KH. Ahmad Siddiq. Gus Miek hanya diam dan tidak memberi jawaban.
KH. Ahmad Siddiq yang belum mendapat kepastian, kembali meminta bantuan Amar Mujib untuk dipertemukan dengan Gus Miek. Pada masa itu, Gus Miek memang sulit ditemui dan selalu berpindah-pindah sehingga hanya orang-orang terdekat seperti Amar Mujib saja yang bisa menemui Gus Miek. Amar pun melaporkan hal itu kepada Gus Miek. Akan tetapi Gus Miek masih tetap belum memberikan jawaban. Baru pada permintaan yang ketiga, Gus Miek menyanggupi. Kebetulan Gus Miek saat itu berada di rumah Mulyadi, Jember. Tetapi Gus Miek mengancam Amar, bila undangan itu hanya untuk memperolok dirinya, Gus Miek akan membunuh Amar.
Hal ini terjadi karena pada saat itu KH. Ahmad Siddiq telah mulai membuka diri untuk mendukung perjuangan Gus Miek dan dengan menimbang potensi KH. Ahmad Siddiq sebagai orang penting dalam jajaran NU wilayah Jawa Timur. Apalagi, pada masa itu, KH. Mahrus Ali sebagai anggota PBNU, menentang keberadaan Gus Miek dan perjuangannya. KH. Mahrus Ali adalah ulama yang sangat kuat (keras) dalam memegang syariat dan kitab kuning, sedangkan Gus Miek dianggab menyimpang dari ketentuan kitab-kitab dan syariat oleh KH. Mahrus Ali. Belum lagi pembelaan Gus Miek kepada perjuangan Wahidiyah di masa lalu. Penentangan KH. Mahrus Ali terhadap Wahidiyah sedemikian kerasnya, bahkan ia membuat larangan tertulis bagi seluruh santri lirboyo agar tak ikut mengamalkan Wahidiyah. Larangan itu masih tetap dijadikan pegangan sampai sekarang.
Sebenarnya, ketidakcocokan itu bukan hanya muncul dari KH. Mahrus Ali saja. Banyak juga ulama lain yang sama dengan pemikiran KH. Mahrus Ali. Bahkan keluarga ploso yang awalnya mendukung Gus Miek, pada akhirnya memisahkan diri dan melarang sebagian jama’ahnya mengamalkan Wahidiyah.
Jadi, perseteruan (lebih tepatnya kesalahpahaman) antara KH. Mahrus Ali dengan Gus Miek ini, di samping persoalan syari’at yang secara kasat mata Gus Miek memang tidak menerapkannya, juga bisa jadi lantaran KH. Mahrus Ali belum tahu bahwa Gus Miek telah berpisah dengan Wahidiyah karena Gus Miek belum menyatakan secara terbuka. Meskipun demikian, beberapa putra Lirboyo telah akrab dengan Gus Miek, seolah tidak pernah terjadi apa-apa di antara mereka.
Jadi, perseteruan (lebih tepatnya kesalahpahaman) antara KH. Mahrus Ali dengan Gus Miek ini, di samping persoalan syari’at yang secara kasat mata Gus Miek memang tidak menerapkannya, juga bisa jadi lantaran KH. Mahrus Ali belum tahu bahwa Gus Miek telah berpisah dengan Wahidiyah karena Gus Miek belum menyatakan secara terbuka. Meskipun demikian, beberapa putra Lirboyo telah akrab dengan Gus Miek, seolah tidak pernah terjadi apa-apa di antara mereka.
Keterbukaan KH. Ahmad Siddiq ini membuat Gus Miek tidak menyia-nyiakan kesempatan sehingga Gus Miek memfokuskan konsentrasinya untuk berdakwah di Jember dan sekitarnya. Ada sebuah rencana besar yang disusun Gus Miek pada KH. Ahmad Siddiq untuk mendukung kesuksesan dakwahnya sehubungan dengan keluarganya dan NU karena Gus Miek sama sekali tidak mungkin untuk bermain di dalam NU disebabkan ia bukan bagian dari jajaran pengurus NU. Gus Miek juga memilih untuk tidak terlibat dalam hiruk pikuknya para ulama NU, terutama dalam hal politik.
Gus Miek diantar oleh Amar, akhirnya menemui KH. Ahmad Siddiq. Setelah berbasa-basi keduanya terlibat pembicaraan empat mata yang sangat serius selama hamper tujuh jam. Sementara Amar menunggu di luar karena sungkan dengan KH. Ahmad Siddiq; walaupun kakak iparnya, tetapi KH. Ahmad Siddiq adalah ulama besar. Di luar kamar, Amar gelisah menunggu, hatinya berdebar-debar penuh kecemasan terhadap apa yang akan terjadi antara Gus Miek dengan KH. Ahmad Siddiq. Kemudian, Gus Miek keluar dari ruangan dengan bintik-bintk keringat di wajahnya, lalu mengajak Amar kembali ke rumah Mulyadi.
Selang beberapa bulan, KH. Ahmad Siddiq kembali menemui Amar Mujib di Tulungagung.
“Mar, pertemukan aku dengan Gus Miek,” kata KH. Ahmad Siddiq.
“Mau apalagi, Mas? Bukankah dulu sudah bertemu?” Tanya Amar.
“Ibarat aku berada di puncak gunung, aku ingin memastikan, bila Gus Miek diibaratkan telaga itu dalam, aku hendak terjun ke dalamnya. Bila ternyata dangkal, aku tidak mau mati bunuh diri,” jawab KH. Ahmad Siddiq.
Akhirnya, Amar kembali melporkan hal itu kepada Gus Miek. Semenjak saat itu, Gus Miek menjadi semakin akrab dengan KH. Ahmad Siddiq, dan KH. Ahmad Siddiq sering menemui Gus Miek tanpa melalui perantaraan Amar Mujib lagi. Perlu diketahui bahwa sejak 1968, antara Gus Miek dengan KH. Ahmad Siddiq telah mulai terlibat pembicaraan serius mengenai NU kembali ke khittah 1926. Baru pada 1984, pemikiran tersebut diterima oleh NU dalam muktamar di Situbondo.
Gus Miek juga pernah mengajak KH. Ahmad Siddiq ziarah ke makam Gunungpring. Sampai di lokasi makam, Gus Miek memberikan amalan bacaan agar dibaca KH. Ahmad Siddiq saat ziarah, lalu Gus Miek pergi entah ke mana. KH. Ahmad Siddiq yang saat itu belum begitu percaya akan kelebihan Gus Miek, terutama dalam hubungannya dengan para wali, lalu membaca bacaan itu.
KH. Ahmad Siddiq menjadi gemetar karena yang terlihat di matanya, semua makam itu terbuka dan penghuni makam itu keluar, berbaju putih melayang ke angkasa. Sementara di angkasa telah menunggu pangeran Diponegoro yang naik kuda lengkap dengan kerisya, diiringi beberapa wali songo. Rombongan itu kemudian beriringan melesat ke arah timur. Setelah rombongan itu tak terlihat, KH. Ahmad Siddiq tergagap dengan tubuh gemetar dan keringat dingin. Sementara suasanan makam sangat sepi. Beberapa saat kemudian Gus Miek datang, sebelum KH. Ahmad Siddiq yang kebingungan menyampaikan apa yang baru saja dilihatnya.
KH. Ahmad Siddiq menjadi gemetar karena yang terlihat di matanya, semua makam itu terbuka dan penghuni makam itu keluar, berbaju putih melayang ke angkasa. Sementara di angkasa telah menunggu pangeran Diponegoro yang naik kuda lengkap dengan kerisya, diiringi beberapa wali songo. Rombongan itu kemudian beriringan melesat ke arah timur. Setelah rombongan itu tak terlihat, KH. Ahmad Siddiq tergagap dengan tubuh gemetar dan keringat dingin. Sementara suasanan makam sangat sepi. Beberapa saat kemudian Gus Miek datang, sebelum KH. Ahmad Siddiq yang kebingungan menyampaikan apa yang baru saja dilihatnya.
Gus Miek berkata: “Benar, Kiai, rombongan Pangeran Diponegoro dan wali songo itu akan menghadiri sidang para wali di Ampel.”
Sebenarnya, masih banyak cerita mengenai kedekatan Gus Miek dengan beberapa tokoh besar yan lain. Misalnya, Gus Miek dengan keluarga KH. Ashari. Suatu hari, Gus Miek mengajak Mulyadi, yang punya Fiat, bersama sunyoto ke Lempuyangan, Yogyakarta, untuk menghadiri haul KH. Ashari yang ke-8. Tiba di Lempuyangan, KH. Hamid Kajoran telah menyambutnya di depan pintu. Kemudian mereka bersama masuk ke ruang tamu. Tiba-tiba, Nyai Ashari muncul dari dalam, bersalaman dengan Gus Miek dan minta doa darinya. Gus Miek yang telah menganggap Nyai Ashari sebagai ibunya yang ketiga setelah Nyai Rodhiyah dan Nyai Mujib, hanya mengiyakan saja.
Gus Miek, 15 hari sebelum wafatnya Nyai Ashari (ibu dari KH. Daldiri), telah datang ke Lempuyangan. Kepada Muhyidin dan Ambar (putri Nyai Ashari), Gus Miek memberikan secarik kertas bertuliskan Khodijah binti Muhyidin dan Hadi bin Ismail sambil berkata: “Ini, aku terakhir kali sowan Bu Nyai.” Semua keluarga Lempuyangan bertanya-tanya tentang maksud Gus Miek: apakah Gus Miek tidak akan datang lagi ke Lempuyangan atau ada maksud lain? Nyai Ashari, yang oleh Gus Miek telah dianggap sebagai ibunya yang ketiga setelah ibunya sendiri dan Nyai Mujib, ternyata 15 hari kemudian wafat. Dan, Khodijah binti Muhyidin berpuluh tahun kemudian benar-benar menikah dengan Hadi bin Ismail.
Pada 1980, Gus Miek kembali melanjutkan safarinya. Dari Jember bersama jama’ah berangkat ke Yogyakarta. Tiba di Klaten, Gus Miek mengajak mampir ke KH. Mansyur, Popongan, Klaten. Saat jama’ah sowan dan ziarah, Gus Miek jalan-jalan entah kemana. Setelah jama’ah berwudhu dan berkumpul di makam, tiba-tiba Gus Miek muncul di belakang, berjalan sambil memimpin tawasulan Al-Fatihah.
Pada 1980, Gus Miek kembali melanjutkan safarinya. Dari Jember bersama jama’ah berangkat ke Yogyakarta. Tiba di Klaten, Gus Miek mengajak mampir ke KH. Mansyur, Popongan, Klaten. Saat jama’ah sowan dan ziarah, Gus Miek jalan-jalan entah kemana. Setelah jama’ah berwudhu dan berkumpul di makam, tiba-tiba Gus Miek muncul di belakang, berjalan sambil memimpin tawasulan Al-Fatihah.
Dari Popongan, Gus Miek mengajak ke makam KH. Abdurrhman bin Hasyim, Krapyak. Di rumah KH. Abdurrahman bin Hsyim (Mbah Benu), yang menyambut adalah putranya yang telah lama tidak bertemu Gus Miek sejak Gus Miek masih berambut panjang. Keduanya berpelukan, setelah itu ziarah ke makam KH. Abdurrahman.
Di pinggir sungai, Gus Miek berkata kepada Sunyoto dan Jupri: “Mbah Benu itu memang tidak mau makamnya dirawat. Pernah salah seorang santrinya yang sukses datang membawa kayu dan genting tanpa membicarakan terlebih dahulu dengan keluarga Mbah Benu. Dari pagi hingga Ashar, bangunan itu akhirnya jadi, tetapi waktu subuh bangunan itu sudah berada di tengah sungai. Akhirnya, oleh keluarganya diberi tahu bahwa Mbah Benu tak berkenan.” Demikianlah ajaran “kemiskinan” yang di ambil Gus Miek dari KH. Abdurrahman untuk jama’ahnya yang saat itu kebanyakan pegawai pemerintah.
Ketertundukan Binatang
Ketika gus miek baru mulai bisa merangkak, saat itu ibunya membawa ke kebun untuk mengumpulkan kayu bakar dan panen kelapa, bayi itu ditinggalkan sendirian di sisi kebun, tiba-tiba dari semak belukar muncul seekor harumau. Spontan sang ibu berlari menjauh dan luapa bahwa bayinya tertinggal. Begitu sadar, sang ibu kemudian berlari mencari anaknya. Tetapi, sesuatu yang luar biasa terjadi. Ibunya melihat harimau itu duduk terpaku di depan sang bayi sambil menjilagti kuku-kukunya seolah menjaga sang bayi.
Peristiwa ketertundukan binatang ini kemudian berlanjut hingga Gus Miek dewasa. Di antara kejadian itu adalah Misteri Ikan dan Burung Raksasa. Gus Miek yang sangat senang bermain di tepi sungai Brantas dan menonton orang yang sedang memancing, pada saat banjir besar Gus Mik tergelincir ke sungai dan hilang tertelan gulungan pusaran air. sampai beberapa jam, santri yang ditugaskan menjaga Gus Miek, mencari di sepanjang pinggiran sungai dengan harapan Gus Miek akan tersangkut atau bisa berenang ke daratan. Tetapi, Gus Miek justru muncul di tengah sungai, berdiri dengan air hanya sebatas mata kaki karena Gus Miek berdiri di atas punggung seekor ikan yang sangat besar, yang menurut Gus Miek adalah piaraan gurunya. Pernah suatu hari, ketika ikut memancing, kail Gus Miek dimakan ikan yang sangat besar. Saking kuatnya tenaga ikan itu, Gus Miek tercebur ke sungai dan tenggelam. Pengasuhnya menjadi kalang kabut karena tak ada orang yang bisa menolong, hari masih pagi sehingga masih sepi dari orang-orang yang memancing. Hilir mudik pengasuhnya itu mencari Gus Miek di pinggir sungai dengan harapan Gus Miek dapat timbul kembali dan tersangkut. Tetapi, setelah hampir dua jam tubuh Gus Miek belum juga terlihat, membuat pengasuh itu putus asa dan menyerah.
Karena ketakutan mendapat murka dari KH. Djazuli dan Ibu Nyai Rodyiah, akhirnya pengasuh itu kembali ke pondok, membereskan semua bajunya ke dalam tas dan pulang tanpa pamit. Dalam cerita yang disampaikan Gus Miek kepada pengikutnya, ternyata Gus Miek bertemu gurunya. Ikan tersebut adalah piaraan gurunya, yang memberitahu bahwa Gus Miek dipanggil gurunya. Akhirnya, ikan itu membawa Gus Miek menghadap gurunya yaitu Nabi Khidir. Pertemuan itu menurut Gus Miek hanya berlangsung selama lima menit. Tetapi, kenyataannya Gus Miek naik ke daratan dan kembali ke pondok sudah pukul empat sore. beberapa bulan kemudian, setelah mengetahui bahwa Gus Miek tidak apa-apa, akhirnya kembali ke pondok.
Pada suatu malam di ploso, Gus Miek mengajak Afifudin untuk menemaninya memancing di sungai timur pondok Al Falah. Kali ini, Gus Miek tidak membawa pancing, tatapi membawa cundik. Setelah beberapa lama menunggu, hujan mulai turun dan semakin lama semakin deras. Tetapi, Gus Miek tetap bertahan menunggu cundiknya beroleh ikan meski air sungai brantas telah meluap. Menjelang tengah malam, tiba-tiba Gus Miek berdiri memegangi gagang cundik dan berusaha menariknya ke atas. Akan tetapi, Gus Miek terseret masuk ke dalam sungai. Afifudin spontan terjun ke sungai untuk menolong Gus Miek. Oleh Afifudin, sambil berenang, Gus Miek ditarik ke arah kumpulan pohon bambu yang roboh karena longsor. Setelah Gus Miek berpegangan pada bambu itu, Afifudin naik ke daratan untuk kemudian membantu Gus Miek naik ke daratan. Sesampainya di darat, Gus Miek berkata “Fif, ini kamu yang terakhir kali menemaniku memancing. Kamu telah tujuh kali menemaniku dan kamu telah bertemu dengan guruku.“ Afifudin hanya diam saja. Keduanya lalu kembali kepondok dan waktu sudah menunjukkan pukul tiga pagi.
Gus Miek Wafat
Tepat tanggal 5 juni 1993 Gus Miek menghembuskan napasnya yang terakhir di rumah sakit Budi mulya Surabaya (sekarang siloam). Kyai yang nyeleneh dan unik akhirnya meninggalkan dunia dan menuju kehidupan yang lebih abadi dan bertemu dengan Tuhannya yang selama ini beliau rindukan. Semoga amal ibadah beliau di terima oleh Allah SWT dan semoga kesalahan-kesalahan beliau juga di ampuni oleh Allah SWT. Aamiin Yaa Rabbal ‘Aalamiin…. Semoga blog kumpulan biografi ulama ini bisa bermanfaat umumnya untuk Anda dan khususnya untuk saya pribadi.
Gus Dur lahir di Jombang, Jawa
Timur, 7 September 1940 dan meninggal di Jakarta, 30 Desember 2009 pada umur 69
tahun. Abdurrahman Wahid lahir dari pasangan Wahid Hasyim dan Solichah. Wahid
Hasyim adalah mantan menteri Agama RI tahun1949 dan sekaligus putra Kh Hasyim
As’ari pendiri organisasi Islam tebesar di Indonesia Nahdhatul Ulama. Ia lahir
dengan nama Abdurrahman Addakhil. "Addakhil" berarti "Sang
Penakluk".Kata "Addakhil" tidak cukup dikenal dan diganti nama
"Wahid", dan kemudian lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur.
"Gus" adalah panggilan kehormatan khas pesantren kepada seorang anak
kiai yang berati "abang" atau "mas". Gus Dur secara terbuka
pernah menyatakan bahwa ia memiliki darah Tionghoa. Abdurrahman Wahid mengaku
bahwa ia adalah keturunan dari Tan Kim Han yang menikah dengan Tan A Lok,
saudara kandung Raden Patah (Tan Eng Hwa), pendiri Kesultanan Demak. Tan A Lok
dan Tan Eng Hwa ini merupakan anak dari Putri Campa, puteri Tiongkok yang
merupakan selir Raden Brawijaya V. Tan Kim Han sendiri kemudian berdasarkan
penelitian seorang peneliti Perancis, Louis-Charles Damais diidentifikasikan
sebagai Syekh Abdul Qodir Al-Shini yang diketemukan makamnya di Trowulan.
Tahun 1944, Gusdur pindah dari Jombang ke Jakarta, tempat ayahnya terpilih menjadi Ketua pertama Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), sebuah organisasi yang berdiri dengan dukungan tentara Jepang yang saat itu menduduki Indonesia. Setelah deklarasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, Gus Dur kembali ke Jombang dan tetap berada di sana selama perang kemerdekaan Indonesia melawan Belanda. Pada akhir perang tahun 1949, Gusdur pindah ke Jakarta dan ayahnya ditunjuk sebagai Menteri Agama. Abdurrahman Wahid belajar di Jakarta, masuk ke SD KRIS sebelum pindah ke SD Matraman Perwari. Gusdur juga diajarkan membaca buku non-Muslim, majalah, dan koran oleh ayahnya untuk memperluas pengetahuannya. Gus Dur terus tinggal di Jakarta dengan keluarganya meskipun ayahnya sudah tidak menjadi menteri agama pada tahun 1952. Pada April 1953, ayah Gusdur meninggal dunia akibat kecelakaan mobil.
Pendidikan Gusdur berlanjut dan pada tahun 1954, ia masuk ke Sekolah Menengah Pertama. Pada tahun itu, ia tidak naik kelas. Ibunya lalu mengirim Gus Dur ke Yogyakarta untuk meneruskan pendidikannya dengan mengaji kepada KH. Ali Maksum di Pondok Pesantren Krapyak dan belajar di SMP. Pada tahun 1957, setelah lulus dari SMP, Wahid pindah ke Magelang untuk memulai Pendidikan Muslim di Pesantren Tegalrejo. Ia mengembangkan reputasi sebagai murid berbakat, menyelesaikan pendidikan pesantren dalam waktu dua tahun (seharusnya empat tahun). Pada tahun 1959, Gusdur pindah ke Pesantren Tambakberas di Jombang. Di sana, sementara melanjutkan pendidikannya sendiri, Abdurrahman Wahid juga menerima pekerjaan pertamanya sebagai guru dan nantinya sebagai kepala sekolah madrasah. Gus Dur juga dipekerjakan sebagai jurnalis majalah seperti Horizon dan Majalah Budaya Jaya.
Pada tahun 1963, Gusdur menerima beasiswa dari Kementrian Agama untuk belajar di Universitas Al Azhar di Kairo, Mesir. Ia pergi ke Mesir pada November 1963. Meskipun ia mahir berbahasa Arab, Abdurrahman Wahid menikmati hidup di Mesir pada tahun 1964; ia suka menonton film Eropa dan Amerika, dan juga menonton pertandingan sepak bola. Wahid juga terlibat dengan Asosiasi Pelajar Indonesia dan menjadi jurnalis majalah asosiasi tersebut. Ketika memulai belajarnya dalam Islam dan bahasa Arab tahun 1965, Gus Dur kecewa; ia telah mempelajari banyak materi yang diberikan dan menolak metode belajar yang digunakan Universitas .
Selama di Mesir Gusdur bekerja di Kedutaan Besar Indonesia. Pada saat ia bekerja, peristiwa Gerakan 30 September (G30S) terjadi. Mayor Jendral Suharto memerintahkan Kedutaan Besar Indonesia di Mesir melakukan investigasi terhadap pelajar universitas dan memberikan laporan kedudukan politik mereka. Perintah ini diberikan pada Gusdur, yang ditugaskan menulis laporan. Gusdur mengalami kegagalan di Mesir. Ia tidak setuju akan metode pendidikan serta pekerjaannya setelah G30S sangat mengganggu dirinya. Pada tahun 1966, ia diberitahu bahwa ia harus mengulang belajar. Pendidikan prasarjana Gus Dur diselamatkan melalui beasiswa di Universitas Baghdad. Wahid pindah ke Irak dan menikmati lingkungan barunya. Meskipun ia lalai pada awalnya, Wahid dengan cepat belajar. Wahid juga meneruskan keterlibatannya dalam Asosiasi Pelajar Indonesia dan juga menulis majalah asosiasi tersebut.
Setelah menyelesaikan pendidikannya di Universitas Baghdad tahun 1970, Abdurrahman Wahid pergi ke Belanda untuk meneruskan pendidikannya. Wahid ingin belajar di Universitas Leiden, tetapi kecewa karena pendidikannya di Universitas Baghdad kurang diakui. Dari Belanda, Wahid pergi ke Jerman dan Perancis sebelum kembali ke Indonesia tahun 1971. Gus Dur kembali ke Jakarta mengharapkan bahwa ia akan pergi ke luar negeri lagi untuk belajar di Universitas McGill Kanada. Ia bergabung ke Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) organisasi yg terdiri dari kaum intelektual muslim progresif dan sosial demokrat. LP3ES mendirikan majalah yang disebut "Prisma" dan Gusdur menjadi salah satu kontributor utama majalah tersebut. Selain bekerja sebagai kontributor LP3ES,Gusdur juga berkeliling pesantren dan madrasah di seluruh Jawa. Pada saat itu,pesantren berusaha keras mendapatkan pendanaan dari pemerintah dengan cara mengadopsi kurikulum pemerintah. Gusdur merasa prihatin dengan kondisi itu karena nilai-nilai tradisional pesantren semakin luntur akibat perubahan ini. Gusdur juga prihatin dengan kemiskinan pesantren yang ia lihat. Pada waktu yang sama ketika mereka membujuk pesantren mengadopsi kurikulum pemerintah,pemerintah juga membujuk pesantren sebagai agen perubahan dan membantu pemerintah dalam perkembangan ekonomi Indonesia. Gusdur memilih batal belajar luar negeri dan lebih memilih mengembangkan pesantren.
Abdurrahman Wahid meneruskan
kariernya sebagai jurnalis,menulis untuk majalah dan surat kabar Artikelnya
diterima dengan baik dan ia mulai mengembangkan reputasi sebagai komentator
sosial. Dengan popularitas itu,ia mendapatkan banyak undangan untuk memberikan
kuliah dan seminar, membuat dia harus pulang-pergi antara Jakarta dan Jombang,
tempat Gusdur tinggal bersama keluarganya. Meskipun memiliki karier yang sukses
pada saat itu,Gusdur masih merasa sulit hidup hanya dari satu sumber
pencaharian dan ia bekerja untuk mendapatkan pendapatan tambahan dengan menjual
kacang dan mengantarkan es. Pada tahun 1974 Gusdur mendapat pekerjaan tambahan
di Jombang sebagai guru di Pesantren Tambakberas dan segera mengembangkan
reputasi baik. Satu tahun kemudian Wahid menambah pekerjaannya dengan menjadi
Guru Kitab Al Hikam. Pada tahun 1977,Gusdur bergabung ke Universitas Hasyim
Asyari sebagai dekan Fakultas Praktek dan Kepercayaan Islam dan Universitas
ingin agar Gusdur mengajar subyek tambahan seperti syariat Islam dan misiologi.
Namun kelebihannya menyebabkan beberapa ketidaksenangan dari sebagian kalangan
universitas.
Karir di Organisasi Islam
Nahdhatul Ulama
Latar belakang keluarga Gusdur
sangat strategis untuk memainkan peran aktif dalam organisasi NU. Permintaan
ini berlawanan dengan aspirasi Gus Dur dalam menjadi intelektual publik dan ia
dua kali menolak tawaran bergabung dengan Dewan Penasehat Agama NU. Namun,
Wahid akhirnya bergabung dengan Dewan tersebut setelah kakeknya, Bisri Syansuri
memberinya tawaran ketiga. Gusdur kemudian memilih pindah menetap di Jakarta.
Sebagai anggota Dewan Penasehat Agama gusdur berperan sebagai pelopor reformasi
di tubuh NU. Gusdur mulai terjuan dalam dunia politik sejak tahun 1982. Ia
aktif berkampanye untuk Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Sebuah Partai Islam
yang dibentuk sebagai hasil gabungan 4 partai Islam termasuk NU. Banyak orang
menganggap NU sebagai organisasi yang mati suri. Setelah berdiskusi, Dewan
Penasehat Agama akhirnya membentuk Tim Tujuh (termasuk Gusdur) untuk
menghidupkan NU kembali. Reformasi dalam organisasi termasuk perubahan
pimpinan.
Pada tahun 1983, Soeharto dipilih kembali sebagai presiden untuk masa jabatan ke-4 oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan mulai mengambil langkah untuk menjadikan Pancasila sebagai Ideologi Negara. Dari Juni 1983 hingga Oktober 1983, Gusdur menjadi bagian dari kelompok yang ditugaskan untuk menyiapkan respon NU terhadap isu tersebut. Pada Oktober 1983, Gusdur mengajak NU harus menerima Pancasila sebagai Ideologi Negara. Untuk lebih menghidupkan kembali NU, Wahid juga mengundurkan diri dari PPP dan partai politik. Hal ini dilakukan sehingga NU dapat fokus dalam masalah sosial daripada terhambat dengan terlibat dalam politik.
Jabatan Ketua NU periode pertama
Pada tahun 1983, Soeharto dipilih kembali sebagai presiden untuk masa jabatan ke-4 oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan mulai mengambil langkah untuk menjadikan Pancasila sebagai Ideologi Negara. Dari Juni 1983 hingga Oktober 1983, Gusdur menjadi bagian dari kelompok yang ditugaskan untuk menyiapkan respon NU terhadap isu tersebut. Pada Oktober 1983, Gusdur mengajak NU harus menerima Pancasila sebagai Ideologi Negara. Untuk lebih menghidupkan kembali NU, Wahid juga mengundurkan diri dari PPP dan partai politik. Hal ini dilakukan sehingga NU dapat fokus dalam masalah sosial daripada terhambat dengan terlibat dalam politik.
Jabatan Ketua NU periode pertama
Reformasi yang dicanangkan
Gusdur membuatnya sangat populer di kalangan NU. Pada saat Musyawarah Nasional
1984, banyak orang yang mulai menyatakan keinginan mereka untuk menominasikan
Gusdur sebagai ketua baru NU. Gusdur menerima nominasi ini dengan syarat ia
mendapatkan wewenang penuh untuk memilih para pengurus yang akan bekerja di
bawahnya. Gusdur terpilih sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama
pada Musyawarah Nasional tersebut.
Selama masa jabatan pertamanya, Gus Dur fokus dalam mereformasi sistem pendidikan pesantren dan berhasil meningkatkan kualitas sistem pendidikan pesantren sehingga dapat menandingi sekolah sekular. Pada tahun 1987, Gus Dur juga mendirikan kelompok belajar di Probolinggo, Jawa Timur untuk menyediakan forum individu sependirian dalam NU untuk mendiskusikan dan menyediakan interpretasi teks Muslim. Gus Dur pernah pula menghadapi kritik bahwa ia mengharapkan mengubah salam Muslim "assalamualaikum" menjadi salam sekular "selamat pagi".
Selama masa jabatan pertamanya, Gus Dur fokus dalam mereformasi sistem pendidikan pesantren dan berhasil meningkatkan kualitas sistem pendidikan pesantren sehingga dapat menandingi sekolah sekular. Pada tahun 1987, Gus Dur juga mendirikan kelompok belajar di Probolinggo, Jawa Timur untuk menyediakan forum individu sependirian dalam NU untuk mendiskusikan dan menyediakan interpretasi teks Muslim. Gus Dur pernah pula menghadapi kritik bahwa ia mengharapkan mengubah salam Muslim "assalamualaikum" menjadi salam sekular "selamat pagi".
Jabatan Ketua NU periode kedua
Gusdur terpilih kembali untuk
masa jabatan kedua Ketua NU pada Musyawarah Nasional 1989. Pada saat itu,
Soeharto, yang terlibat dalam pertempuran politik dengan ABRI, mulai menarik
simpati Muslim untuk mendapat dukungan mereka. Pada Desember 1990, Ikatan
Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dibentuk untuk menarik hati Muslim
Intelektual. Organisasi ini didukung oleh Soeharto, diketuai oleh BJ Habibie dan di dalamnya terdapat intelektual
Muslim seperti Amien Rais dan Nurcholish Madjid sebagai anggota. Pada tahun
1991, beberapa anggota ICMI meminta Gus Dur bergabung. Gus Dur menolak karena
ia mengira ICMI mendukung sektarianisme dan akan membuat Soeharto tetap kuat.
Pada tahun 1991, Wahid melawan ICMI dengan membentuk Forum Demokrasi, organisasi
yang terdiri dari 45 intelektual dari berbagai komunitas religius dan sosial.
Organisasi ini diperhitungkan oleh pemerintah dan pemerintah menghentikan
pertemuan yang diadakan oleh Forum Demokrasi saat menjelang pemilihan umum
legislatif 1992.
Pada Maret 1992, Gus Dur berencana mengadakan Musyawarah Besar untuk merayakan ulang tahun NU ke-66 dan mengulang pernyataan dukungan NU terhadap Pancasila. Gusdur merencanakan acara itu dihadiri oleh paling sedikit satu juta anggota NU. Namun, Soeharto menghalangi acara tersebut, memerintahkan polisi untuk mengembalikan bus berisi anggota NU ketika mereka tiba di Jakarta. Akan tetapi, acara itu dihadiri oleh 200.000 orang. Setelah acara, Gus Dur mengirim surat protes kepada Soeharto menyatakan bahwa NU tidak diberi kesempatan menampilkan Islam yang terbuka, adil dan toleran. Selama masa jabatan keduanya sebagai ketua NU, ide liberal Gus Dur mulai mengubah banyak pendukungnya menjadi tidak setuju. Sebagai ketua, Gus Dur terus mendorong dialog antar agama dan bahkan menerima undangan mengunjungi Israel pada Oktober 1994.
Jabatan Ketua NU periode ketiga
dan reformasi demokrasi
Pada Juni 1998, banyak orang
dari komunitas NU meminta Gus Dur membentuk partai politik baru. Ia tidak
langsung mewujudkan ide tersebut. Namun pada Juli 1998 Gus Dur mulai menanggapi
ide tersebut karena mendirikan partai politik merupakan satu-satunya cara untuk
melawan Golkar dalam pemilihan umum. Wahid menyetujui pembentukan PKB dan
menjadi Ketua Dewan Penasehat dengan Matori Abdul Djalil sebagai ketua partai.
Meskipun partai tersebut didominasi anggota NU, Gus Dur menyatakan bahwa partai
tersebut terbuka untuk semua orang. Pada November 1998, dalam pertemuan di
Ciganjur, Gus Dur, bersama dengan Megawati, Amien, dan Sultan Hamengkubuwono X
kembali menyatakan komitmen mereka untuk reformasi. Pada 7 Februari 1999, PKB
secara resmi menyatakan Gus Dur sebagai kandidat pemilihan presiden.
Pada Juni 1999, partai PKB ikut serta dalam arena pemilu legislatif. PKB memenangkan 12% suara dengan PDI-P memenangkan 33% suara. Dengan kemenangan partainya, Megawati memperkirakan akan memenangkan pemilihan presiden pada Sidang Umum MPR. Namun, PDI-P tidak memiliki mayoritas penuh, sehingga membentuk aliansi dengan PKB. Pada Juli, Amien Rais membentuk Poros Tengah, koalisi partai-partai Muslim. Poros Tengah mulai menominasikan Gus Dur sebagai kandidat ketiga pada pemilihan presiden dan komitmen PKB terhadap PDI-P mulai berubah.
Pada 7 Oktober 1999, Amien dan Poros Tengah secara resmi menyatakan Abdurrahman Wahid sebagai calon presiden. Pada 19 Oktober 1999, MPR menolak pidato pertanggungjawaban Habibie dan ia mundur dari pemilihan presiden. Beberapa saat kemudian, Akbar Tanjung, ketua Golkar dan ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyatakan Golkar akan mendukung Gus Dur. Pada 20 Oktober 1999, MPR kembali berkumpul dan mulai memilih presiden baru. Abdurrahman Wahid kemudian terpilih sebagai Presiden Indonesia ke-4 dengan 373 suara, sedangkan Megawati hanya 313 suara.
Masa menjadi Presiden
Kabinet pertama Gus Dur, Kabinet Persatuan Nasional, adalah kabinet koalisi yang meliputi anggota berbagai partai politik: PDI-P, PKB, Golkar, PPP, PAN, dan Partai Keadilan (PK). Non-partisan dan TNI juga ada dalam kabinet tersebut. Wahid kemudian mulai melakukan dua reformasi pemerintahan. Reformasi pertama adalah membubarkan Departemen Penerangan, senjata utama rezim Soeharto dalam menguasai media. Reformasi kedua adalah membubarkan Departemen Sosial yang korup.
Pada November 1999, Wahid mengunjungi negara-negara anggota ASEAN, Jepang, Amerika Serikat, Qatar, Kuwait, dan Yordania. Setelah itu, pada bulan Desember, ia mengunjungi Republik Rakyat Cina. Rencana Gus Dur adalah memberikan Aceh referendum. Namun referendum ini menentukan otonomi dan bukan kemerdekaan seperti referendum Timor Timur. Gus Dur juga ingin mengadopsi pendekatan yang lebih lembut terhadap Aceh dengan mengurangi jumlah personel militer di Negeri Serambi Mekkah tersebut. Pada 30 Desember, Gus Dur mengunjungi Jayapura di provinsi Irian Jaya. Selama kunjungannya, Abdurrahman Wahid berhasil meyakinkan pemimpin-pemimpin Papua bahwa ia mendorong penggunaan nama Papua.
Pada Januari 2000, Gus Dur melakukan perjalanan ke luar negeri antara lain swiss, untuk menghadiri Forum Ekonomi Dunia, Arab Saudi, Inggris, Perancis, Belanda, Jerman, Italia, India, Korea Selatan, Thailand, dan Brunei Darussalam, Timor Leste, Afrika Selatan, Kuba, Meksiko dan Hong Kong. Pada bulan Juni, Wahid sekali lagi mengunjungi Amerika, Jepang, dan Perancis dengan Iran, Pakistan, dan Mesir sebagai tambahan baru ke dalam daftar negara-negara yang dikunjunginya.
Pada Maret 2000, pemerintahan Gus Dur mulai melakukan negosiasi dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Dua bulan kemudian, pemerintah menandatangani nota kesepahaman dengan GAM hingga awal tahun 2001, saat kedua penandatangan akan melanggar persetujuan. Gus Dur juga mengusulkan agar TAP MPRS No. XXIX/MPR/1966 yang melarang Marxisme-Leninisme dicabut. Ia juga berusaha membuka hubungan dengan Israel, yang menyebabkan kemarahan pada kelompok Muslim Indonesia. Isu ini diangkat dalam pidato Ribbhi Awad, duta besar Palestina untuk Indonesia, kepada parlemen Palestina tahun 2000. Isu lain yang muncul adalah keanggotaan Gus Dur pada Yayasan Shimon Peres. Baik Gus Dur dan menteri luar negerinya Alwi Shihab menentang penggambaran Presiden Indonesia yang tidak tepat, dan Alwi meminta agar Awad, duta besar Palestina untuk Indonesia, diganti.
Dalam usaha mereformasi militer dan mengeluarkan militer dari ruang sosial-politik, Gus Dur menemukan sekutu, yaitu Agus Wirahadikusumah, yang diangkatnya menjadi Panglima Kostrad pada bulan Maret. Pada Juli 2000, Agus mulai membuka skandal yang melibatkan Dharma Putra, yayasan yang memiliki hubungan dengan Kostrad. Melalui Megawati, anggota TNI mulai menekan Gusdur untuk mencopot jabatan Agus. Gus Dur mengikuti tekanan tersebut, tetapi berencana menunjuk Agus sebagai Kepala Staf Angkatan Darat. Petinggi TNI merespon dengan mengancam untuk pensiun, sehingga Gus Dur kembali harus menurut pada tekanan.
Hubungan Gus Dur dengan TNI semakin memburuk ketika Laskar Jihad tiba di Maluku dan dipersenjatai oleh TNI. Laskar Jihad pergi ke Maluku untuk membantu orang Muslim dalam konflik dengan orang Kristen. Gusdur meminta TNI menghentikan aksi Laskar Jihad, namun mereka tetap berhasil mencapai Maluku dan dipersenjatai oleh senjata TNI. Muncul pula dua skandal pada tahun 2000, yaitu skandal Buloggate dan Bruneigate. Pada bulan Mei, Badan Urusan Logistik (BULOG) melaporkan bahwa $4 juta menghilang dari persediaan kas Bulog. Tukang pijit pribadi Gus Dur mengklaim bahwa ia dikirim oleh Gus Dur ke Bulog untuk mengambil uang. Meskipun uang berhasil dikembalikan, musuh Gus Dur menuduhnya terlibat dalam skandal ini. Skandal ini disebut skandal Buloggate. Pada waktu yang sama, Gus Dur juga dituduh menyimpan uang $2 juta untuk dirinya sendiri. Uang itu merupakan sumbangan dari Sultan Brunei untuk membantu di Aceh. Namun, Gus Dur gagal mempertanggungjawabkan dana tersebut. Skandal ini disebut skandal Bruneigate.
Pada September, Gus Dur menyatakan darurat militer di Maluku karena kondisi di sana semakin memburuk. Pada saat itu semakin jelas bahwa Laskar Jihad didukung oleh anggota TNI dan juga kemungkinan didanai oleh Fuad Bawazier, menteri keuangan terakhir Soeharto. Pada bulan yang sama, bendera bintang kejora berkibar di Papua Barat. Gus Dur memperbolehkan bendera bintang kejora dikibarkan asalkan berada di bawah bendera Indonesia. Ia dikritik oleh Megawati dan Akbar karena hal ini. Pada 24 Desember 2000, terjadi serangan bom terhadap gereja-gereja di Jakarta dan delapan kota lainnya di seluruh Indonesia.
Masa akhir kepresidenan
Pada 1 Februari, DPR bertemu untuk mengeluarkan nota terhadap Gus Dur. Nota tersebut berisi diadakannya Sidang Khusus MPR dimana pemakzulan Presiden dapat dilakukan. Anggota PKB hanya bisa walk out dalam menanggapi hal ini. Nota ini juga menimbulkan protes di antara NU. Di Jawa Timur, anggota NU melakukan protes di sekitar kantor regional Golkar. Di Jakarta, oposisi Gus Dur turun menuduhnya mendorong protes tersebut. Gus Dur membantah dan pergi untuk berbicara dengan demonstran di Pasuruan. Namun, demonstran NU terus menunjukan dukungan mereka kepada Gus Dur dan pada bulan April mengumumkan bahwa mereka siap untuk mempertahankan Gus Dur sebagai presiden hingga mati.
Pada bulan Maret, Gus Dur mencoba membalas oposisi dengan melawan disiden pada kabinetnya. Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Yusril Ihza Mahendra dicopot dari kabinet karena ia mengumumkan permintaan agar Gus Dur mundur. Menteri Kehutanan Nurmahmudi Ismail juga dicopot dengan alasan berbeda visi dengan Presiden, berlawanan dalam pengambilan kebijakan, dan diangap tidak dapat mengendalikan Partai Keadilan, yang pada saat itu massanya ikut dalam aksi menuntut Gus Dur mundur. Dalam menanggapi hal ini, Megawati mulai menjaga jarak dan tidak hadir dalam inagurasi penggantian menteri. Pada 30 April, DPR mengeluarkan nota kedua dan meminta diadakannya Sidang Istimewa MPR pada 1 Agustus.
Gus Dur mulai putus asa dan meminta Menteri Koordinator Politik, Sosial, dan Keamanan (Menko Polsoskam) Susilo Bambang Yudhoyono untuk menyatakan keadaan darurat. Yudhoyono menolak dan Gus Dur memberhentikannya dari jabatannya beserta empat menteri lainnya dalam reshuffle kabinet pada tanggal 1 Juli 2001. Akhirnya pada 20 Juli, Amien Rais menyatakan bahwa Sidang Istimewa MPR akan dimajukan pada 23 Juli. TNI menurunkan 40.000 tentara di Jakarta dan juga menurunkan tank yang menunjuk ke arah Istana Negara sebagai bentuk penunjukan kekuatan. Gus Dur kemudian mengumumkan pemberlakuan dekrit yang berisi (1) pembubaran MPR/DPR, (2) mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dengan mempercepat pemilu dalam waktu satu tahun, dan (3) membekukan Partai Golkar sebagai bentuk perlawanan terhadap Sidang Istimewa MPR. Namun dekrit tersebut tidak memperoleh dukungan dan pada 23 Juli, MPR secara resmi memakzulkan Gus Dur dan menggantikannya dengan Megawati Sukarnoputri. Abdurrahman Wahid terus bersikeras bahwa ia adalah presiden dan tetap tinggal di Istana Negara selama beberapa hari, namun akhirnya pada tanggal 25 Juli ia pergi ke Amerika Serikat karena masalah kesehatan.
Gus Dur menderita banyak
penyakit, bahkan sejak ia mulai menjabat sebagai presiden. Ia menderita
gangguan penglihatan sehingga seringkali surat dan buku yang harus dibaca atau
ditulisnya harus dibacakan atau dituliskan oleh orang lain. Beberapa kali ia
mengalami serangan strok. Diabetes dan gangguan ginjal juga dideritanya. Ia
wafat pada hari Rabu, 30 Desember 2009, di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo,
Jakarta, pada pukul 18.45 akibat berbagai komplikasi penyakit tersebut, yang
dideritanya sejak lama. Sebelum wafat ia harus menjalani hemodialisis (cuci
darah) rutin. Menurut Salahuddin Wahid adiknya, Gus Dur wafat akibat sumbatan
pada arteri. Seminggu sebelum dipindahkan ke Jakarta ia sempat dirawat di
Jombang seusai mengadakan perjalanan di Jawa Timur.
Penghargaan
1. tahun 1993, Gus Dur menerima
Ramon Magsaysay Award, sebuah penghargaan yang prestisius bidang Community Leadership.
2. Gusdur dinobatkan sebagai
"Bapak Tionghoa" oleh beberapa tokoh Tionghoa Semarang di Kelenteng
Tay Kak Sie, Gang Lombok, yang selama ini dikenal sebagai kawasan Pecinan pada
tanggal 10 Maret 2004.
3. Penghargaan dari Simon
Wiethemthal Center, sebuah yayasan yang bergerak di bidang penegakan Hak Asasi
Manusia.
4. Penghargaan dari Mebal Valor yang berkantor di Los Angeles karena
Wahid dinilai memiliki keberanian membela kaum minoritas
5. Penghargaan dari Universitas
Temple. Namanya diabadikan sebagai nama kelompok studi Abdurrahman Wahid Chair of Islamic
Study.
6. Pada 21 Juli 2010, meskipun
telah meninggal, ia memperoleh Lifetime
Achievement Award dalam
Liputan 6 Awards 2010.
7. 11 Agustus 2006, Gadis Arivia
dan Gus Dur mendapatkan Tasrif Award-AJI sebagai Pejuang Kebebasan Pers 2006.
Penghargaan ini diberikan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI).
Doktor kehormatanGus Dur juga banyak memperoleh gelar Doktor Kehormatan (Doktor Honoris Causa) dari berbagai lembaga pendidikan:
- Doktor Kehormatan bidang Filsafat Hukum
dari Universitas Thammasat, Bangkok, Thailand (2000)
- Doktor Kehormatan dari Asian Institute
of Technology, Bangkok, Thailand (2000)
- Doktor Kehormatan bidang Ilmu Hukum dan
Politik, Ilmu Ekonomi dan Manajemen, dan Ilmu Humaniora dari Pantheon
Universitas Sorbonne, Paris, Perancis (2000)
- Doktor Kehormatan dari Universitas
Chulalongkorn, Bangkok, Thailand (2000)
- Doktor Kehormatan dari Universitas
Twente, Belanda (2000)
- Doktor Kehormatan dari Universitas
Jawaharlal Nehru, India (2000)
- Doktor Kehormatan dari Universitas Soka
Gakkai, Tokyo, Jepang (2002)
- Doktor Kehormatan bidang Kemanusiaan
dari Universitas Netanya, Israel (2003)
- Doktor Kehormatan bidang Hukum dari
Universitas Konkuk, Seoul, Korea Selatan (2003)
- Doktor Kehormatan dari Universitas Sun
Moon, Seoul, Korea Selatan (2003)
Kyai Haji Muhammad Zaini Abdul Ghani atau Syaikhuna al-Alim al-Allamah Muhammad Zaini bin al-Arif billah Abdul Ghani bin Abdul Manaf bin Muhammad Seman bin Muhammad Sa’ad bin Abdullah bin al-Mufti Muhammad Khalid bin al-Alim al-Allamah al-Khalifah Hasanuddin bin Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari yang bergelar Al Alimul Allamah Al Arif Billaah Albahrul Ulum Al Waliy Qutb As Syeekh Al Mukarram Maulana (biasa dipanggil Abah Guru Sekumpul atau Tuan Guru Ijai).
Beliau adalah sufi termasyhur, juga sosok Wali Allah kharismatik Martapura, Kalimantan Selatan, yang menyatukan syari’at, tarekat dan hakikat dalam dirinya.
Beliau lebih dikenal dengan
sebutan Guru Ijai atau Guru Sekumpul, dan juga salah seorang ulama yang
mempopulerkan Simthud Durar atau Maulid Habsyi di
Kalimantan Selatan. Pada zamannya Guru Ijai adalah satu-satunya ulama
Kalimantan, atau mungkin di Indonesia, yang mendapat otoritas untuk
mengijazahkan Tarekat Samaniyyah yang didirikan oleh Syekh Muhammad Saman.
Masa kecil dan pendidikan
Zaini Abdul Ghani atau Guru
Ijai lahir pada 11 Februari 1942 (27 Muharram 1361 H) di Kampung Tunggul Irang
Seberang, Martapura. Beliau masih keturunan dari ulama besar Syekh ARSYAD
AL-BANJARI. Di masa kecilnya beliau memiliki keistimewaan yakni tak pernah
mengalami “mimpi basah” (ihtilam). Pendidikan pertamanya diberikan oleh
kedua orang tuanya, Haji Abdul Ghani dan Hajah Masliah binti Haji Mulya, dan
oleh neneknya, Hajah Salbiyah. Bersama neneknya inilah beliau suka sekali
membaca al-Qur’an. Pada usia tujuh tahun beliau masuk madrasah di Kampung
Keraton, Martapura. Pada masa kecil ini beliau belajar al-Qur’an pertama kali
kepada Guru Hasan. Orang tuanya, yang tergolong orang sederhana, selalu
membekalinya sebotol minyak untuk diberikan kepada gurunya ini. Sejak usia 10
tahun Guru Ijai telah dikaruniaikassyaf hissi, yakni mampu melihat dan
mendengar apa-apa yang tersembunyi atau hal-hal ghaib. Pada usia 14 tahun
beliau dikaruniai futuh (pencerahan spiritual) saat membaca
sebuah tafsir al-Qur’an. Pada masa remaja ini pula beliau mengalami perjumpaan
spiritual dengan Sayyidina Hasan dan Husain, cucu Rasulullah. Kedua cucu
Rasulullah ini masing-masing membawa pakaian dan mengenakannya langsung kepada
beliau lengkap dengan sorbannya.
Beliau melanjutkan pendidikannya ke Pesantren Datu Kalampian Bangil, Jawa Timur, kepada Kyai Sarwani Abdan yang juga berasal dari Martapura. Di sini beliau selain mendapat pendidikan syariat juga mendalami ilmu spiritual. Selanjutnya beliau berguru kepada Syekh Falah di Bogor. Selain kepada kedua ulama ini, beliau juga mendalami syariat dan tarekat kepada Syekh Muhammad Yasin Padang di Mekah, Syekh Hasan Masysyath, Syekh Isma’il Yamani, Syekh Abdul Qadir al-Baar, Syekh Sayyid Muhammad Amin Kutby, Allamah Ali Junaidi (Berau) ibn Jamaluddin ibn Muhammad Arsyad. Atas petunjuk Syekh Ali Junaidi, beliau kemudian belajar kepada Syekh Fadhil Muhammad (Guru Gadung). Kepada Guru Gadung ini Guru Ijai belajar tentang ajaran Nur Muhammad. Beliau juga mendapat ijazah Maulid Simthud Durar dari sahabat karibnya, Habib Anis ibn Alwi ibn Ali al-Habsyi dari Solo, Jawa Tengah.
Beliau sempat menjadi pengajar di Pesantren Darussalam Martapura selama lima tahun, kemudian membuka pengajian di rumahnya sendiri pada 1970-an, di dampingi oleh seorang kyai terkenal yakni Guru Salman Bujang (Guru Salman Mulya). Pengajian dimulai setiap hari Kamis petang hingga malam Jum’at. Pada 1988 beliau pindah ke Kampung Sekumpul, membuka kompleks perumahan ar-Raudhah atau Dalam Regol. Sejak itu kewibawaan dan kharismanya memancar luas – murid-muridnya dan tamu-tamunya berdatangan dari berbagai daerah, bahkan dari negeri jiran seperti Malaysia, Singapura dan Brunei. Sebagian datang untuk berguru, sebagian mencari barakahnya, dan sebagian ingin berbaiat Tarekat Samaniyyah. Juga beberapa tokoh nasional menyempatkan diri mengunjunginya, seperti Amien Rais, Gus Dur, Megawati, AA Gym dan sebagainya.
Pengaruh kehidupan keluarga
Gemblengan ayah dan
bimbingan intensif pamannya semenjak kecil betul-betul tertanam. Semenjak kecil
ia sudah menunjukkan sifat mulia; penyabar, ridha, pemurah, dan kasih sayang
terhadap siapa saja. Kasih sayang yang ditanamkan dan juga ditunjukkan oleh
ayahnya sendiri. Seperti misalnya, suatu ketika hujan turun deras, sedangkan
rumah Guru Sekumpul sekeluarga sudah sangat tua dan reot. Sehingga air hujan
merembes masuk dari atap-atap rumah.Pada waktu itu, ayahnya menelungkupinya
untuk melindungi tubuhnya dari hujan dan rela membiarkan dirinya sendiri
tersiram hujan.
Abdul Ghani bin Abdul Manaf, ayah dari Guru Sekumpul juga adalah seorang pemuda yang saleh dan sabar dalam menghadapi segala situasi dan sangat kuat dengan menyembunyikan derita dan cobaan. Tidak pernah mengeluh kepada siapapun. Cerita duka dan kesusahan sekaligus juga merupakan intisari kesabaran, dorongan untuk terus berusaha yang halal, menjaga hak orang lain, jangan mubazir, bahkan sistem memenej usaha dagang dia sampaikan kepada generasi sekarang lewat cerita-cerita itu.
Beberapa cerita yang diriwayatkan adalah sewaktu kecil mereka sekeluarga yang terdiri dari empat orang hanya makan satu nasi bungkus dengan lauk satu biji telur, dibagi empat. Tak pernah satu kalipun di antara mereka yang mengeluh. Pada masa-masa itu juga, ayahnya membuka kedai minuman. Setiap kali ada sisa teh, ayahnya selalu meminta izin kepada pembeli untuk diberikan kepada beliau. Sehingga kemudian sisa-sisa minuman itu dikumpulkan dan diberikan untuk keluarga.
Adapun sistem mengatur usaha dagang, ayah beliau menyampaikan bahwa setiap keuntungan dagang itu mereka bagi menjadi tiga. Sepertiga untuk menghidupi kebutuhan keluarga, sepertiga untuk menambah modal usaha, dan sepertiga untuk disumbangkan. Salah seorang ustadz setempat pernah mengomentari hal ini, “bagaimana tidak berkah hidupnya kalau seperti itu.” Pernah sewaktu kecil beliau bermain-main dengan membuat sendiri mainan dari gadang pisang. Kemudian sang ayah keluar rumah dan melihatnya. Dengan ramah sang ayah menegurnya, “Nak, sayangnya mainanmu itu. Padahal bisa dibuat sayur.” Beliau langsung berhenti dan menyerahkannya kepada sang ayah.
Guru Ijai menikah tiga kali,
dan dikarunia dua putra dari istri keduanya, Hajjah Laila, yakni Muhammad Amin
Badali al-Banjari dan Ahmad Hafi Badali al-Banjari.
Ajaran dan karamah
Sebagai ulama, beliau
dikenal sebagai orang yang amat lembut, kasih sayang, sabar, dermawan dan
tekun. Apapun yang terjadi terhadap dirinya, beliau tak pernah mengeluh –
bahkan pernah beliau dipukuli oleh orang-orang yang dengki kepadanya namun
beliau tidak mengeluh atau mendendam sama sekali. Beliau juga mengajarkan agar
orang senantiasa mencintai dan hormat kepada ulama yang baik dan saleh. Hal ini
dicontohkan dalam sikapnya: ketika masih kecil beliau selalu menunggu di tempat
yang biasa dilewati oleh Syekh Fadhil Zainal Ilmi pada hari-hari tertentu
semata-mata hanya untuk bersalaman dan mencium tangan kyai tersebut. Jika ada
yang mengkritik atau mencaci-maki ajaran tarekatnya, atau mengejek keadaan
dirinya, beliau hanya diam, karena beliau menganggap mereka adalah orang-orang
yang belum mengerti dan memahami. Tamu-tamu yang datang selalu dijamu makanan,
termasuk pada waktu pengajian. Tidak kurang dari 3000 orang selalu datang ke
pengajiannya dan selalu diberi jamuan makan.
Kedermawanannya ini tampak bukan hanya kepada lingkungan sekitar, tetapi juga ke setiap tempat yang disinggahinya. Salah satu pesannya adalah “Jangan bakhil” karena itu adalah sifat tercela. Beliau sering mengutip pesan “pintu surga diharamkan bagi orang bakhil.” Beliau juga mengajarkan apa yang disebutnya kaji-gawi, artinya menuntut ilmu dan diamalkan. Salah satu keunikannya dalam berdakwah adalah perhatiannya kepada kesehatan umat. Pada waktu tertentu beliau mendatangkan dokter spesialis (jantung, ginjal, paru, mata, dan sebagainya) untuk memberikan penyuluhan kesehatan sebelum pengajian dimulai. Beliau juga menulis beberapa kitab, di antaranya adalah Risalah Mubarakah; Manaqib as-Syaikh as-Sayyid Muhammad bin Abdul Karim al-Qadiri al-Hasani as-Saman al-Madani; Risalah Nuraniyah fi Syarhit Tawassualtis Sammaniyah; dan Nubdzatun fi Manaqib al-Imam al-Masyhur bil-Ustadz al-A’zham Muhammad bin Ali Ba’Alawy.
Beberapa kisah karamahnya diantaranya adalah sebagai berikut. Saat masih di Kampung Keraton beliau biasanya duduk-duduk dengan beberapa orang sambil bercerita tentang orang-orang terdahulu untuk mengambil pelajaran dari kisah itu. Suatu saat beliau bercerita tentang buah rambutan, yang saat itu belum musimnya. Tiba-tiba beliau mengacungkan tangannya ke belakang, seolah-olah mengambil sesuatu, dan mendadak di tangan beliau sudah memegang buah rambutan matang, yang kemudian beliau makan. Beliau juga bisa memperbanyak makanan – setelah makan sepiring sampai habis, tiba-tiba makanan di piring itu penuh lagi, seakan-akan tak dimakan olehnya. Dikisahkah pula, suatu ketika terjadi musim kemarau panjang, dan sumur-sumur mengering. Masyarakatpun meminta kepada Guru Ijai agar berdoa meminta hujan. Beliau lalu mendekati sebatang pohon pisang, menggoyang-goyangkan pohon itu dan tak lama kemudian hujan pun turun. Beliau juga dikenal bisa menyembuhkan banyak orang dengan kekuatan spiritualnya.
Beberapa Catatan lain berupa beberapa kelebihan beliau adalah dia sudah hafal Al-Qur'an semenjak berusia 7 tahun. Kemudian hapal tafsir Jalalain pada usia 9 tahun. Semenjak kecil, pergaulannya betul-betul dijaga. Kemana pun bepergian selalu ditemani. Pernah suatu ketika beliau ingin bermain-main ke pasar seperti layaknya anak sebayanya semasa kecil. Saat memasuki gerbang pasar, tiba-tiba muncul pamannya, Syaikh Seman Mulya di hadapannya dan memerintahkan untuk pulang. Orang-orang tidak ada yang melihat Syekh, begitu juga sepupu yang menjadi ”bodyguard”-nya. Dia pun langsung pulang ke rumah.
Dalam usia kurang lebih 10 tahun, sudah mendapat khususiat dan anugerah dari Tuhan berupa Kasyaf Hissi yaitu melihat dan mendengar apa yang ada di dalam atau yang terdinding. Dalam usia itu pula beliau didatangi oleh seseorang bekas pemberontak yang sangat ditakuti masyarakat akan kejahatan dan kekejamannya. Kedatangan orang tersebut tentunya sangat mengejutkan keluarga di rumah beliau. Namun apa yang terjadi, laki-laki tersebut ternyata ketika melihat beliau langsung sungkem dan minta ampun serta memohon minta dikontrol atau diperiksakan ilmunya yang selama itu ia amalkan, jika salah atau sesat minta dibetulkan dan dia pun minta agar supaya ditobatkan.
Pada usia 9 tahun pas malam jumat beliau bermimpi melihat sebuah kapal besar turun dari langit. Di depan pintu kapal berdiri seorang penjaga dengan jubah putih dan di gaun pintu masuk kapal tertulis “Sapinah al-Auliya”. Beliau ingin masuk, tapi dihalau oleh penjaga hingga tersungkur. Dia pun terbangun. Pada malam jum’at berikutnya, ia kembali bermimpi hal serupa. Dan pada malam jumat ketiga, ia kembali bermimpi serupa. Tapi kali ini ia dipersilahkan masuk dan disambut oleh salah seorang syekh. Ketika sudah masuk ia melihat masih banyak kursi yang kosong.
Ketika beliau merantau ke tanah Jawa untuk mencari ilmu, tak disangka tak dikira orang yang pertama kali menyambutnya dan menjadi guru adalah orang yang menyambutnya dalam mimpi tersebut.
Meninggal dunia
Sebelum meninggal dunia Guru
Ijai sempat dirawat di Rumah Sakit Mount Elizabeth, Singapura, selama 10 hari.
Tetapi pada hari Selasa malam beliau pulang dan tiba di Bandara Syamsuddin
Noor, Banjarmasin, pada pukul 20.30. Keesokan harinya, Rabu 10 Agustus 2005,
pukul 5.10 waktu setempat, beliau meninggal dunia. Ribuan orang berdatangan
untuk memberikan penghormatan terakhir dan mengiringi jenazah beliau hingga ke
pemakaman. Begitu mendengar kabar meninggalnya Guru Sekumpul lewat pengeras
suara di masjid-masjid selepas salat subuh, masyarakat dari berbagai daerah di
Kalimantan Selatan berdatangan ke Sekumpul Martapura untuk memberikan
penghormatan terakhir pada almarhum. Pasar Martapura yang biasanya sangat ramai
pada pagi hari, Rabu pagi itu sepi karena hampir semua kios dan toko-toko
tutup. Suasana yang sama juga terlihat di beberapa kantor dinas, termasuk
Kantor Bupati Banjar. Sebagian besar karyawan datang ke Sekumpul untuk
memberikan penghormatan terakhir. Sebelum dimakamkan di kompleks pemakaman
keluarga di dekat Mushalla Ar Raudhah, Rabu sore sekitar pukul 16.00, warga
masyarakat yang datang diberikan kesempatan untuk melakukan salat jenazah
secara bergantian. Kegiatan ibadah ini berpusat di Mushalla Ar Raudhah,
Sekumpul, yang selama ini dijadikan tempat pengajian oleh Guru Sekumpul.
Petuah
Meski memiliki karamah,
beliau selalu berpesan agar kita jangan sampai tertipu dengan segala keanehan
dan keunikan. Karena bagaimanapun juga karamah adalah anugrah, murni pemberian,
bukan suatu keahlian atau skill. Karena itu jangan pernah berpikir
atau berniat untuk mendapatkan karamah dengan melakukan ibadah atau
wiridan-wiridan. Dan karamah yang paling mulia dan tinggi nilainya adalah
istiqamah di jalan Allah itu sendiri. Kalau ada orang mengaku sendiri punya
karamah tapi salatnya tidak karuan, maka itu bukan karamah, tapi bakarmi (orang
yang keluar sesuatu dari duburnya).
Guru Sekumpul juga sempat memberikan beberapa pesan kepada seluruh masyarakat Islam, yakni:
- Menghormati
ulama dan orang tua
- Baik sangka
terhadap muslimin
- Murah harta
- Manis muka
- Jangan menyakiti
orang lain
- Mengampunkan
kesalahan orang lain
- Jangan
bermusuh-musuhan
- Jangan tamak
atau serakah
- Berpegang kepada
Allah, pada kabul segala hajat
- Yakin
keselamatan itu pada kebenaran.
Dari berbagai sumber
Bagus
ReplyDeleteterima kasih artikelnya, sangat bermanfaat.
ReplyDeletejual rumah daerah buduran
Barokalloh
ReplyDeletejika membawa sebuah cerita harap dilihat sumbernya, jangan sampai membawa takhayyul dan cerita-cerita dusta untuk melariskan cerita yang dibawa. tidak ada kiyai sakti, wali Allah harus sesuai dengan ajaran Allah dan rasulNya, bukan membuat ajaran baru yang aneh.
ReplyDeleteAssalaamu 'alaikum, Saudaraku, abu Fauzi hendaknya kita selalu iman fan taqwa kpd AlloH. Janganlah berburuk sangka dan mempunyai niat yang kurang baik kepada saudara kaum muslimin. Introspeksilah dan jangan mudah menyalahkan orang lain. Sucikanlah hati dengan Tawbat Nashuha dan Istighfar. Mohon maaf bila kurang berkenan.
DeleteAssalaamu 'alaikum, Saudaraku, abu Fauzi hendaknya kita selalu iman fan taqwa kpd AlloH. Janganlah berburuk sangka dan mempunyai niat yang kurang baik kepada saudara kaum muslimin. Introspeksilah dan jangan mudah menyalahkan orang lain. Sucikanlah hati dengan Tawbat Nashuha dan Istighfar. Mohon maaf bila kurang berkenan.
DeleteThis comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDeleteKita tak perlu berdebat tentang benar tdknya kisah diatas, sebaiknya kita belajar khusnudzon trhd sgala sesuatu krn blm tentu kita lbh baik dari org yg dianggap krg baik
Deletesangat inspiratif, semogga menjadi motivasi buat orang awam seperti saya
ReplyDeletesangat inspiratif, semogga menjadi motivasi buat orang awam seperti saya
ReplyDelete